Langsung ke konten utama

Kalau Sosok itu Aku, Maka Jangan Dia



Suara derap terdengar keras mengalun sepanjang koridor kampus. Terlihat seorang laki-laki melangkah terburu dengan alunan napas yang tak teratur. Amarah jelas sekali terlihat di matanya. Dan emosi jelas sekali menguasai dirinya. Membuat si laki-laki ini mengabaikan banyak pandangan yang mengarah padanya. Bagi dia, hanya satu yang menjadi fokusnya kali ini. Menemukan gadis yang beberapa saat lalu menghubunginya dengan tangisan.

Laki-laki tersebut berhenti tepat di depan gadis yang sedang menundukkan wajahnya. Langsung saja laki-laki ini mengambil tempat di sebelah gadis tersebut. Membuat si gadis mendongakkan kepalanya. Dan ketika yang ada di depan matanya adalah seorang Angkasa Mahendra, langsung saja gadis itu mendekap erat si laki-laki. Dan suara tangisan kembali terdengar di telinga Angkasa. Membuat amarah yang sempat teredam kembali tersulut, dan semakin membara.

Di dunia ini ada beberapa hal yang Angkasa benci, selain seseorang yang membuka ponselnya tanpa ijin, melihat tangisan dari seorang Tara Gantari adalah hal yang benar-benar menyulut amarahnya dengan mudah. Dan ketika amarah Angkasa tersulut, jelas dia tak mungkin lagi mampu berpikir jernih, yang mana membuatnya akan mengikuti emosi dibanding logikanya. Dan itu merupakan sesuatu yang buruk.

“Bilang sama aku bajingan mana yang bikin kamu nangis, Ra”

Mendengar Angkasa berkata kasar bukanlah hal yang baru bagi Tara. Jika mendengar orang lain yang berkata kasar di dekat Tara, dia akan langsung pergi dan tak ingin untuk dekat dengan orang tersebut, maka hal itu tak pernah berlaku untuk Angkasa. Bagi Tara, Angkasa adalah satu pengecualian. Karena bagi Tara terlalu sulit untuk menjauhi Angkasa yang selama ini selalu menemaninya dalam segala suasana. Termasuk saat Bayu yang berstatus sebagai pacarnya meminta Tara untuk menjauhi Angkasa, dia tak mendengarkannya.

Tara hanya butuh ini. Satu pelukan dari Angkasa, dan dia akan merasa baik-baik saja. Satu pelukan dari Angkasa, maka dia akan merasa utuh. Meskipun Bayulah kekasih Tara, hanya saja pelukan Angkasa telah lebih dulu membuatnya nyaman. Terhitung sejak Tara berumur lima tahun hingga saat ini dia telah genap berumur dua puluh tahun. Bagi Tara, Angkasa adalah sosok kakak yang selama ini dia impikan, sosok kakak yang tak mungkin Tara dapatkan karena dia adalah seorang anak tunggal.

“Masak temenku bilang dia lihat Bayu jalan sama cewek lain, Ka”

Sejak awal Tara mengenalkan Bayu pada Angkasa, dia telah membencinya. Angkasa tidak suka pada Bayu. Terlepas dari rasa tidak relanya karena merasa tersaingi, Angkasa merasa bahwa Bayu bukanlah laki-laki yang baik. Meskipun Angkasa bukan juga dalam kategori laki-laki baik, tapi dia mempunyai firasat yang buruk ketika Tara mengenalkannya. Firasat itu dia abaikan. Prinsipnya sejak lama adalah apapun asalkan Tara tersenyum. Dan ketika hubungan Tara baik-baik saja selama dua tahun terakhir ini, Angkasa pikir bahwa firasatnya salah, dan perlahan mulai menerima sosok Bayu sebagai kekasih Tara. Dan satu kalimat yang keluar dari mulut Tara barusan jelas sekali mengatakan bahwa firasat awalnya tak salah.

“Ra, ijinin aku nemuin bajingan itu sekarang, ya?”

Tara hanya menjawab dengan gelengan. Bukan tandanya dia ingin melindungi Bayu dari pukulan Angkasa. Tara malah akan mendukung jika Angkasa mampu membantunya menyalurkan amarah. Hanya saja, saat ini Tara lebih membutuhkan Angkasa. Untuk dirinya sendiri. Untuk kali ini saja, Tara ingin menghabiskan waktu dengan Angkasa yang terhitung berkurang karena kesibukannya di perkuliahan dan waktunya bersama Bayu.

“Aku Cuma butuh kamu di samping aku sekarang. Kalo kamu mau mukulin dia, besok aja. Aku pasti kasih ijin kok”

Mendengar jawaban dari Tara mampu menimbulkan senyum di bibir laki-laki yang mendekap Tara dengan sangat erat. Jangan bertanya pada Angkasa seberapa besar rindu yang tertuju pada Tara, yang jelas cukup besar untuk membuat moodnya seminggu ini berantakan.

“Yaudah, kalo gitu, tuan putri Tara mau ke mana?” tanya Angkasa seraya melepaskan dekapan Tara. Melihat air mata Tara yang masih saja mengalir, membuat tangan Angkasa melangkah pada wajah Tara dan menghapus air mata tersebut.

“Temenin aku nonton film, ya? Tapi di CGV”

“Korea lagi?”

“Kalo nggak ikhlas gapapa deh, aku cari temen lain aja”

“Bercanda, Tara. Jangan baperan gitu dong”

Percakapan singkat seperti itu saja sudah mampu membuat Tara tersenyum. Rencana awalnya adalah Tara akan menonton film dari artis favoritnya Song Joong Ki yang berjudul The Battleship Island bersama Bayu, namun karena adanya jarak dari hubungan mereka, membuat Tara merubah rencananya dan memilih untuk menonton dengan Angkasa.

Angkasa memang akan selalu bersikap ogah-ogahan ketika menemani Tara menonton film atau drama Korea, namun selalu berakhir dengan memuji berbagai hal dari film atau drama tersebut jika memang bagus dan tentunya mengeluarkan kritik jika dia rasa tidak bagus. Berbeda jika Tara mengajak Bayu, karena Bayu akan cenderung diam dan mendengarkan Tara berceloteh sendiri. Itu sebabnya Tara lebih suka ketika menonton bersama Angkasa.

“Kali ini siapa yang main?” Angkasa bertanya saat mereka sedang berada di tengah kemacetan menuju lokasi. Pertanyaan Angkasa sukses membuat Tara yang sedang sibuk memesan tiket secara online mengalihkan perhatiannya pada Angkasa.

“Big Boss yang kata kamu aktingnya keren”

“Serius? Emang ceritanya gimana?”

“Gitu deh, sebelas dua belas karakternya sama drama kemarin. Tentang masa penjajahan Jepang di Korea. Banyak review yang bilang bagus sih, nggak kaget juga soalnya pemainnya pro semua”

“Action dong?” yang Tara jawab dengan anggukan.

***

Selesai menonton, Tara dan Angkasa memutuskan untuk makan di warung seafood langganan mereka sedari dulu. Sepanjang perjalanan, mereka asik sendiri dengan pandangan mereka tentang film yang barusan mereka tonton. Tanpa Tara sadari bahwa Angkasa menahan di dalam kepalanya beberapa pertanyaan yang hendak dia layangkan pada Tara.

Sesampainya di lokasi, Tara langsung mengambil tempat duduk, sedangkan Angkasa menyapa pemilik warung tersebut. Hanya menyapa, karena sang pemilik sudah terlalu hapal dengan makanan yang akan mereka pesan.

“Mang, apa kabar?” sapa Angkasa ramah

“Wah, lama banget kalian nggak ke sini, sampe Mamang kira kalian udah nggak mau makan di sini lagi”

“Aih, nggak mungkinlah. Dua ya mang, kayak biasanya”

“Siap, tunggu aja dulu”

Angkasa memilih untuk undur diri dan pergi ke tempat duduk yang telah di tempati Tara, karena dapat Angkasa lihat antrian para pembeli yang menginginkan makan masakan Mang Jaka. Saat Angkasa menuju tempat di mana Tara berada, dapat Angkasa lihat bahwa Tara masih memikirkan masalahnya. Hal itu membuat Angkasa bertekad untuk memaksa Tara menceritakan permasalahannya.

Masih teringat jelas di ingatan Angkasa bagaimana bersinarnya mata Tara saat menceritakan tentang Bayu dua tahun yang lalu. Masih teringat jelas di ingatan Angkasa tentang bagaimana Bayu dulu berjuang untuk memenangkan hati Tara. Untuk saat ini, Angkasa benar-benar ingin bertanya angin apa yang merubah percikan cinta Bayu pada Tara. Demi Tuhan, Angkasa saja tak pernah menemukan kebosanan ketika berhadapan dengan Tara.

Hal pertama yang Angkasa lakukan saat duduk di hadapan Tara adalah merampas ponsel Tara dan memasukkan ke dalam saku jaketnya. Melihat ponselnya lenyap dari pandangannya bukan berarti bahwa Tara sedih, justru dia tersenyum. Tersenyum karena sebagaimanapun menyebalkannya seorang Angkasa Mahendra, justru sosoknyalah yang paling mengerti Tara.

Sebenarnya permasalahan seperti ini bukan hanya sekali terjadi. Terlalu sering Tara mendengar teman-temannya berkata bahwa Bayu bukanlah lelaki yang baik dan sering jalan dengan banyak wanita. Tara hanya menutup telinga dan mengabaikan kabar-kabar yang berhembus tersebut. Bukan salah Tara, karena dia hanyalah seorang gadis yang sedang jatuh cinta. Tara bukan tidak bertanya pada Bayu, dia bertanya dan jawaban yang selalu dilontarkan adalah bahwa mereka hanya sekedar teman. Semakin lama jelas Tara mulai tak percaya dengan ucapan Bayu, terlebih ketika temannya mengiriminya foto yang jelas sekali bahwa mereka lebih dari sekedar teman. Dan Tara mulai menyesal tidak menceritakan masalah ini pada Angkasa sedari dulu.

Saat makanan datang, tak ada yang bersuara di antara Angkasa dan Tara. Mereka sama-sama diam dengan pikiran mereka masing-masing. Tara dengan pikiran bagaimana cara yang pas memberitahu Angkasa tanpa menyulut amarah Angkasa yang mudah meledak. Sedangkan Angkasa memikirkan bagaimana cara bertanya yang baik tanpa harus mengatakan sesuatu yang akan menambah kesedihan Tara, karena sedari dulu kesedihan seorang Tara Gantari adalah hal terakhir yang ingin dia lihat.

“Nah, udah habis kan? Sekarang waktunya kamu buat ceritain semua ke aku” Angkasa langsung angkat bicara sesaat dia melihat bahwa Tara telah menghabiskan makanannya.

“Aku putus aja ya, Ka? Capek banget aku dibohongin dia terus”

“Jadi maksud kamu dia ngelakuin hal ini nggak sekali?”

Mengalirlah cerita Tara tentang kabar-kabar Bayu yang selama ini dia dapatkan. Tara berusaha sebisa mungkin untuk jujur pada Angkasa. Selama bercerita, Tara menggenggam tangan Angkasa yang ada di depannya. Mencoba untuk meredam emosi Angkasa yang mungkin saja akan meledak. Tara dapat melihat kilat amarah yang mulai muncul dari mata Angkasa.

“Dia jelas-jelas beda sama aku, Ra”

“Maksudnya?”

“Dia jelas jauh beda sama aku, Ra”

“Ya, nggak ada yang bilang juga dia sama kek kamu, Ka”

“Terus kalo tau dia beda, kenapa kamu masih mau jadian sama dia dulu?”

“Rasanya aku udah jawab pertanyaan kamu lama deh, Ka”

“Jago basket, pinter debat, dan punya motor cowok. Cuma itu aja persamaanku sama Bayu”

“Terus?”

“Kata Delia kamu naksir Bayu karena dia mirip sama aku, padahal kamu tahu jelas kalo aku nggak selevel sama dia. Sebrengseknya aku, Ra, aku nggak pernah yang namanya selingkuh”

Tara terkejut mendengar ucapan yang diucapkan oleh Angkasa. Jadi, selama ini Angkasa mengetahui tentang perasaanya dan memilih untuk diam? Lalu, kenapa? Kenapa Angkasa lebih memilih untuk diam dan membiarkan Tara jadian dengan Bayu? Tara merasakan hatinya perih, artinya selama ini Angkasa tak mempunyai rasa padanya bukan? Demi Tuhan, Tara sudah berusaha untuk menghapus perasaanya pada Angkasa. Bahkan nama Bayu sudah mulai berpengaruh bagi hatinya, tapi mengapa mendengar membuat jantung Tara merasakan perih?

“Dan aku nggak butuh ijinmu buat ngehajar dia besok” ucapan Angkasa membuat kesadaran Tara kembali.

“Jadi, kamu udah tahu perasaanku selama ini, Ka?”

“Iyalah, kan kamu sendiri yang cerita tentang Bayu ke aku”

“Bukan tentang Bayu, tapi tentang kamu”

Mereka berdua saling tatap. Tara jelas tak bisa menyembunyikan amarah yang bersarang di dalam hatinya. Dan Angkasa menyadari amarah itu mendadak mulai menyesali ucapannya. Sejenak tak ada yang mengeluarkan suara, sampai akhirnya Tara memilih untuk berdiri dan melangkah pergi. Angkasa langsung mengikuti langkah Tara. Angkasa terlampau paham bahwa Tara mungkin saja melakukan banyak hal bodoh. Pulang sendiri, misalnya. Tetapi kekhawatiran Angkasa menurun saat melihat Tara berdiri di samping mobilnya.

Angkasa tak langsung menjalankan mobilnya. Angkasa jelas tak ingin jika Tara marah kepadanya, karena itulah Angkasa memikirkan jawaban yang pas untuk dia sampaikan pada Tara agar paling tidak Tara bisa mengerti posisi dan keadaannya kala itu.

“Ra, bukan aku pura-pura nggak tahu atau gimana, tapi kamu tahu kondisiku pas itu gimana, kan?” Tara masih bertahan dengan sikap diamnya, membuat Angkasa melanjutkan ucapannya.

“Aku dulu brengsek, Ra. Kamu tahu sendiri waktu itu aku habis putus sama pacar aku. Bukan aku nggak mau ambil kesempatan waktu Delia bilang kamu naksir aku, tapi karena kamu tahu aku nggak pernah serius sama cewek, kamu milih mundur. Aku bisa aja ngambil kesempatan, karena kayak yang aku bilang tadi, Bayu nggak selevel sama aku.”

“Tapi, Ra, kalo aku langsung ambil kesempatan itu di saat mata kamu bersinar waktu kamu cerita tentang Bayu, aku pengecut, Ra. Aku jadi nggak ada bedanya sama Bayu. Makanya aku Cuma bisa nunggu, sambil jaga kamu dari jauh”

Tara yang jelas mendengarkan semua yang diucapkan Angkasa terkejut. Dia tak pernah berpikir sampai sejauh itu. Tara tak pernah berpikir bahwa dirinya sebegitu istimewanya di mata Angkasa. Setelah mendengar penuturan Angkasa, ingatan Tara melayang pada setiap perilaku yang dia terima. Angkasa yang selalu menjadi sandarannya ketika dia bersedih, Angkasa yang selalu mendengarkan segala ceritanya bahkan cerita yang tak penting sekaligus, Angkasa yang selalu panik saat dirinya sakit, Angkasa yang selalu menemaninya menonton drama Korea yang bahkan awalnya tak disukainya, Angkasa yang memberinya hadiah album KPOP dari boygroup favoritnya, dan banyak hal lagi.

“Ra, sekarang aku nyesel sama keputusanku dulu. Harusnya dulu aku nggak biarin kamu deket sama Bayu. Level dia bener-bener nggak bisa deketin tingkatanku, Ra”

“Kalo dulu kita nggak sama-sama bego, mungkin sampe sekarang aku nggak tau kalo kamu juga ada rasa sama aku, Ka. Tapi, aku juga nggak bisa nyangkal kalo Bayu berpengaruh buat hatiku, Ka”

“Dan itu salah satu penyesalan terbesarku. Ra, kalo kamu bisa dapetin sosok aku dari aku sendiri, kenapa harus dia?”

Angkasa memeluk Tara. Dan membiarkan diam mereka menyelimuti keadaan. Angkasa tak ingin serakah, dia hanya butuh pelukan seperti ini maka semua akan baik-baik saja. Angkasa hanya membutuhkan Tara di sisinya sebagai sosok apa saja, maka semua akan baik-baik saja baginya. Angkasa tak ingin lebih serakah dari ini. Angkasa membiarkan waktu yang mengembalikan rasa Tara untuknya. Untuk kali ini, Angkasa tak akan mengalah pada siapapun lagi. Bagi Angkasa, tak ada yang sepantas dirinya untuk menjaga Tara dengan benar.

Tara meresapi pelukan yang Angkasa berikan. Pelukan yang jelas berbeda dengan pelukan siapapun. Pelukan yang langsung membuat Tara tenang dalam sekejap. Benar, jika Tara bisa mendapatkan sosok Angkasa dari orangnya langsung, mengapa Tara harus repot mencarinya dari sosok lain? Untuk kali ini, Tara tak akan menyerah pada rasanya pada Angkasa seperti dulu. Bagi Tara, tak ada yang memperlakukannya dirinya secara istimewa seperti Angkasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta Cenat Cenut

Dulu waktu awal-awal aku jadi smesbles drama mini seri ini muncul. Dan selalu membuat 'booming' para 'Performance' *sebutan kelasku* gimana gak? orang mayoritas warganya SMASHBLAST walaupun gak dikit juga yg antis. Tapi, selalu di bikin bahan candaan, bahan debatan, dll. Cinta cenat cenut atau di singkat CCC ini waktu awal mulainya selalu di tunggu-tunggu, banyak banget anak yg update status gak sabar pengen liat drama mini seri ini. Bahkan, yang awalnya antis setelah nonton ccc beralih menjadi SMASHBLAST! Keren gak sih? Keren banget doonng :D . Dan, banyak banget yg mengikuti SM*SH maen di drama mini seri atau kalo gak gitu FTV, seolah-olah julukan SM*SH sebagai 'pioner' itu bener-bener terasa banget. Sayang, ccc cuma 13 episode, waktu episode terakhir aku sempet nangis sihh, tapi cuma bentar, toh katanya ccc 2 bakalan ada. Berbulan-bulan aku nantiin, tapi selalu dalam tahap project! Sampai pada sekitaran November ccc2 resmi tanyang pada tanggal 3 Desember 2011

Review : Tujuh Hari untuk Keshia

Tujuh Hari untuk Keshia. Adalah novel kesekian karya seorang Inggrid Sonya yang aku baca bahkan sejak cerita itu masih di Wattpad. Cerita yang mungkin bagi sebagian orang sad ending, namun bagiku cerita ini termasuk dalam kategori happy ending dan ending yang masuk akal. Kenapa gitu? Yaaa, karena pada endingnya, setiap tokoh dapat mengikhlaskan dengan tulus, dapat kembali lagi menjalani aktifitasnya. Dan masih tetap mencintai sosok Sadewa tanpa harus terpuruk lebih jauh lagi. Setiap tokoh sudah menemukan bahagianya masing-masing tanpa harus melupakan Sadewa. Happy ending bukan? Untuk perbedaan versi wattpad dan buku, jujur aku lebih suka versi wattpad hehehe. Abang Riverku banyak part di versi wattpad, dan berkat versi wattpad ini juga aku sehalu itu sama River sampe-sampe dulu kalo bingung mau curhat ke siapa, aku nulis curhatanku dan bikin seolah olah aku ngobrol sama River. Sehalu itu memang. Tapi, jujur kalo buat masalah jalan cerita, penokohan, dan kesan ajaib dari cerita ini

Aku Masih Menulis...

Aku masih menulis, Menulis tentang masa-masa yang telah aku tinggal jauh di belakang, Masih berangan tentang mawar yang aku usahakan untukmu, Masih berangan tentang binar matamu yang aku pikir hanya untukku kala itu, Masih berangan tentang bercerita di depan api unggun yang kamu nyalakan musim dingin itu. Aku masih menulis, Menulis tentang sinar pancaran matamu saat kamu bercerita, Menulis tentang indah garis lengkung bibirmu saat kamu tersenyum, Menulis tentang merdu suara tawamu saat kamu tertawa. Aku masih menulis, Menulis tentang kemungkinan-kemungkinan dunia paralel yang kamu ceritakan itu benar adanya, Menulis tentang kemungkinan di dunia paralel itu kita sedang mewujudkan impian-impian kita, Menulis tentang kemungkinan di dunia paralel itu kita saling bergerak tanpa ada rasa takut. Aku masih menulis, Menguatkan ingatanku yang mulai memburam tentang apa-apa tentangmu, Menguatkan bayangmu yang perlahan mulai menghilang, Menguatkan kisah-kisah yang kita pernah bakar h