Aku melihatnya.
Aku
melihatnya dalam jarak yang dekat. Dia sedang tertawa dengan rekan kerja
ayahnya. Dia tipe orang yang akan ramah pada siapapun juga. Mendengar tawanya,
membuat dadaku berdetak kencang. Aku merindukannya. Terlalu merindukannya. Langkahku
tak dapat melangkah lebih lanjut. Kakiku tak dapat bergerak dan mataku terpaku
pada punggungnya yang indah itu. Tatanan rambut itu. Aku menyukai tatanan
rambutnya yang seperti itu.
Dia menoleh
kearahku. Membuat mataku dan matanya bertemu. Mata indah itu. Aku sangat
merindukan mata elang yang dimilikinya. Jenis mata tajam, namun meneduhkan
ketika aku menatapnya lama. Jenis mata yang akan membuat siapa saja yang
menatapnya tenang. Tak terkecuali aku. Aku akan merasakan perasaan hangat
ketika menatap mata elang itu. Aku juga akan merasakan ketakutan ketika mata
elang itu berkilat marah. Dia menyunggingkan senyumnya. Membuatku tercekat.
Senyuman itu. Senyuman yang sudah lama tak kulihat. Senyuman indah yang mampu
membuatku jatuh cinta.
Dengan
membawa minuman di tangan kanannya dia berjalan kearahku. Senyumannya masih
bertahan di bibirnya yang manis. Aku masih terpaku dan tak dapat bergerak.
Bahkan sampai dia berada di depanku saat ini. Bahkan saat dia memelukku seperti
saat ini. Aku masih saja terdiam. Namun, hatiku merasakan kehangatan. Hatiku
merasakan sesuatu yang selama ini hilang darinya. Aku dapat bernafas lega saat
ini. Seolah semua beban yang menghimpit terkuar semua. Aroma tubuhnya tak
pernah berubah. Dan aku menyukainya. Lebih tepatnya, aku menyukai semua yang
ada pada dirinya. Entah sejak kapan, aku membalas pelukannya juga. Membuatnya
semakin mengeratkan pelukannya. Dan aku tersenyum dalam pelukannya.
Saat ini kami
tengah duduk di kursi tamu. Sebuah pesta yang sangat megah. Dan terasa lebh spesial
karena adanya dia di sisiku saat ini. Tangan kami masih saja bertaut, aku
menatap kearah tautan tangan kami. Sekali lagi aku tersenyum bahagia. Aku
bahkan mengabaikan ucapan pembawa acara di depan. Aku terlalu terfokus pada
tautan tangan ini. Tangan yang selalu menghapuskan air mataku ketika aku
menangis. Tangan yang selalu mencubit kedua pipiku gemas. Tangan yang selalu
menarikku dalam dekapannya. Tangan yang selalu saja menggenggam tanganku erat
kapan saja aku membutuhkan genggaman.
Tangannya
tiba-tiba saja bergerak dan menarikku untuk berdiri. Aku mendongakkan kepalaku
dan menatapnya bingung. Dia hanya tersenyum dan mengajakku untuk berdiri.
Seolah terhipnotis olehnya, aku hanya mengikutinya kemana dia membawaku. Mataku
hanya terpaku pada wajahnya. Aku terlalu merindukan sosok di depanku ini.
Bahkan, aku tidak bertanya kenapa dia membawaku ke atas panggung seperti saat
ini. Dia tersenyum kepada mereka yang saat ini menatap kami. Membuatku
mengikutinya dan menatap kepada tamu undangan. Mereka semua tersenyum melihat
kami.
“Terima kasih
sudah datang ke pesta ini. Pesta pertunangan saya dengan Aurora”
♥
Aku terlonjak begitu mendengar alarm dari ponselku
berdering. Mematikan alarm tersebut dan berpikir sejenak. Dari sekian lama aku
berada di kota ini untuk melarikan diri darinya, baru kali ini aku
memimpikannya. Mimpi itu terasa nyata. Tatapan mata elang itu. Senyumannya yang
tertuju padaku. Genggaman tangannya. Semua terasa seperti nyata. Aku bahkan
sampai meraba tanganku sendiri. Menggelengkan kepalaku. Ini semua keputusanku
untuk menempuh pendidikan yang berbeda kota dengannya. Bahkan, aku melanggar
janjiku sendiri yang mengatakan ingin satu universitas dengannya.
Keluar dari selimutku dan mulai bersiap untuk kuliah.
Hari ini merupakan ujian hari terakhir dan setelahnya kami akan bertemu dengan
liburan. Termasuk aku. Setelah ini, setelah kabur selama dua tahun dan tak
mempunyai keberanian untuk pulang hanya karena dia, aku akan kembali ke kotaku.
Ke kota yang mengenalkanku tentang apa itu cinta. Kota yang menyimpan banyak
sekali rahasia antara aku dan dia. Kota besar yang telah aku jelajahi
dengannya. Kota besar yang setiap sisinya pasti tertuliskan kisah kami berdua.
Dan kota besar itulah yang membuatku memutuskan untuk berpindah kota hanya
untuk melarikan diri dari masalah aku, dia, dan cewek itu.
Entah karena mimpi semalam atau merasuknya rasa rindu
yang teramat kuat ini, aku melangkahkan kakiku goyah ketika sampai di depan
kampus. Ramainya keadaan kampusku hari ini bahkan luput dari perhatianku. Devi
yang dari tadi bercerita saja hanya aku tanggapi dengan gumaman. Aku memikirkan
banyak hal saat ini. Dan semua hal itu pasti ada kaitannya dengan dia. Devi
seolah mengerti apa yang kupikirkan. Dia merangkulku dan menepuk pundakku
beberapa kali. Aku hanya membalasnya dengan senyuman tipis.
Mengerjakan ujian dengan pikiranku yang bercabang
antara soal dan dirinya yang jauh di sana. Bahkan, setelah dua tahun kabur
darinya, aku masih saja tak melupakannya. Setelah aku memutuskan untuk kuliah
di luar kota, aku mengganti ponsel dan nomorku. Bahkan, semua media sosialku
yang lama kuhapus dan membuat akun yang baru. Semua ini aku lakukan untuk lari
darinya. Lari dari kenyataan bahwa sahabatku sendiri ternyata menyukainya. Lari
dari kenyataan bahwa ternyata dia juga menyukai sahabatku sendiri. Ironis?
Sangat. Jangan ditanya seberapa hancur aku saat mendengar bahwa dia juga
menyayangi cewek itu. Janjiku padanya yang ingin menempuh pendidikan tinggi di
tempatnya berkuliah bahkan harus kulanggar hanya karena hal itu. Pengecut?
Sepertinya itu menjadi nama tengahku.
Apa aku harus membatalkan keputusanku untuk kembali ke
rumah? Apa aku harus merobek tiket yang ada di kamarku? Karena jujur, aku masih
belum sanggup untuk bertemu dengan mereka berdua. Dia adalah cinta pertamaku.
Bukankah cinta pertama itu susah dilupakan? Aku mempercayai hal itu. Sampai
saat ini, aku tak mampu melupakannya. Atau menggantikannya dengan siapapun.
Ujian telah selesai. Dengan gamang aku keluar dari
kelas. Jika ujian telah selesai, artinya semakin dekat waktuku untuk kembali ke
kota asalku. Kota yang jaraknya ratusan kilometer dari tempatku kini. Devi
masih setia berada di sampingku tanpa bicara. Aku tau dia sangat memahamiku,
jika sudah seperti ini aku hanya ngin diam dan berpikir sejenak, tanpa ada
gangguan dari siapapun juga.
“Well, gue balik dulu, Bil. Apapun yang ada di pikiran
lo tentang ngerobek tiket kereta, jangan dilakuin” ujarnya seraya memegang
pundakku.
See? Dia seperti cenayang yang bisa membaca pikiranku.
Aku tersenyum dan mengangguk. Seberapa besar resikoku nanti untuk bertemu
dengan dia, paling tidak aku dapat berkumpul dengan keluargaku. Ya, aku bisa
saja menghabiskan liburan panjangku hanya di rumah dan tidak keluar rumah.
Suatu ide yang bagus bukan? Aku jadi dapat meminimalisir kesempatan untuk
bertemu dengan dia.
Melambaikan tanganku pada Devi. Terlihat dia
tersenyum, lalu berjalan ke arah pacarnya. Aku termenung sejenak. Devi adalah
sahabat yang baik. Dia yang menemaniku selama dua tahun ketika musim liburan
tiba. Maklum, Devi orang asli kota sini, dan selama liburan dia selalu
memaksaku untuk menginap di rumahnya.
“Kamu ternyata masih suka dipanggil dengan nama
tengah, Hmm?”
Suara bariton itu. Aku kenal dengan suara itu. Suara
dari orang yang selama ini aku jauhi. Suara dari orang yang menyelinap ke dalam
mimpiku semalam. Menggelengkan kepalaku perlahan. Nggak mungkin dia ada di kota
ini. Mungkin hanya orang yang berbincang di belakangku saja. Mungkin saja
kebetulan orang tersebut mempunyai suara yang sama dengan dia. Melangkahkan
langkahku kembali. Ketika kakiku melangkah, aku merasakan sebuah tangan
mendekapku dari belakang. Tangan hangat yang takkan pernah mampu aku lupakan
selama ini. Tangan besar yang selalu nyaman ketika aku menggenggamnya dulu.
Tubuhku membeku. Aku tak mampu bergerak. Aliran darahku seolah berhenti di
tengah jalan. Jantungku…aku tak pernah merasakan jantungku akan berdetak liar
seperti ini lagi.
“Aku menahan semua pertanyaan yang sudah berada di
ujung lidahku. Aku ingin memakimu dengan ribuan sumpah serapah yang telah
muncul di kepalaku. Tapi, aku menahannya..”
“Karena, seberapa inginnya aku mengucap ribuan kata
itu, ada satu kalimat yang kamu harus dengar lebih dulu…”
“Aku rindu kamu”
Dia semakin mengeratkan pelukannya seraya menghirup
nafas panjang. Air mataku merebak. Rasa sesak perlahan menyentuh dadaku. Rasa
itu. Rasa yang dia ungkapkan. Adalah rasa yang sama seperti yang aku rasakan
saat ini. Rasa yang selalu merayapiku namun aku abaikan sekuat tenagaku. Rasa
yang nyaris membunuh hatiku secara perlahan. Merasakan pipiku basah. Haruskah
aku menangis di depannya? Ah, aku melupakan satu fakta, bahwa apapun yang
berkaitan dengannya membuatku menjadi lemah.
Dia memutar tubuhku. Menundukkan kepalaku. Aku tak
sanggup melihatnya. Aku masih tak sanggup melihat matanya saat ini. Aku sudah
merasa tak sanggup menatap wajahnya kembali sejak dua tahun yang lalu tersebut.
Sejak kejadian yang memaksaku harus mendengar sebuah kalimat yang menyakitkan
hatiku itu. Aku sudah tak sanggup lagi. Bukannya memaksaku melihat wajahnya,
dia menggenggam tanganku dan membawaku kabur dari tempat ini. Jangan pikir aku
tak protes dan berusaha melepas genggaman tangannya ini, aku sudah berusaha dan
selalu gagal. Genggaman tangannya terasa sangat erat dan menyakitkan, bahkan
aku dapat melihat urat tangannya yang muncul akibat eratnya genggaman tangannya
di tanganku.
Kami tiba di pelataran parkir. Dia langsung membawaku
ke mobil Range Rover kesayangannya itu. Membuatku membelalakkan mata. Jadi, dia
menyetir sendiri dari jarak ratusan kilometer itu? Apa dia sudah kehilangan
kewarasannya? Masih banyak alat transportasi yang bisa dengan mudah dia tempuh
untuk sampai ke kota ini. Pesawat misalnya? Tapi ini? Menghempaskan tanganku
dengan kasar. Akhirnya tanganku terlepas dari genggaman eratnya. Memberanikan
diri untuk menatap matanya. Mata itu terlihat lelah. Aku tau dia kurang tidur.
Aku sangat hafal semua tentangnya. Dia bukan tipe orang yang dapat tertidur
dengan mudah ketika perjalanan. Dan ini yang membuatku terkejut ketika melihat mobilnya
terparkir dengan apik di pelataran parkir gedungku.
“Kakak gila? Otak kakak udah nggak berfungsi lagi?”
ujarku
“Kita masuk dulu ke mobil. Aku nggak mau bikin drama
di tempat umum seperti ini”
“Dan membuat kecelakaan baru karena kakak nggak tidur
semalaman? Ah nggak, makasih. Aku lebih milih pulang naik taksi”
“Oke, kamu yang setir. Bawa aku ke tempat di mana kita
bisa mengobrol berdua” ujarnya mengalah
Dia bukan tipe orang yang bisa dibantah perintahnya.
Itu yang menyebabkan dia selalu menjadi ketua di manapun dia berada. Dengan
berat hati, aku menyetujui idenya. Aku juga merasa tak tega mengabaikannya
sedangkan dia juga harus menempuh jarak yang mengharuskan menghabiskan waktu
nyaris seharian itu.
♥
Memasuki café yang menjadi café favoritku di kota ini.
Jaraknya tak seberapa jauh dari kampusku. Aku biasa berjalan kaki untuk sampai
di tempat ini. Entah kenapa, aku lebih suka berjalan kaki di kota ini, padahal
aku disediakan motor oleh kedua orang tuaku, tetap saja berjalan kaki terasa
menyenangkan bagiku. Mengambil tempat yang jauh dari keramaian. Ujung dari café
yang selalu menjadi spot favoritku sejak aku menemukan café ini.
Memandang ke segala arah asalkan bukan ke arahnya.
Demi apapun aku ingin melangkahkan kaki menjauh dari sosoknya yang kini berubah
menjadi sosok lelaki yang masuk dalam kategori cogannya anak SMA. Percayalah,
dia sudah memiliki wajah yang tampan sedari dulu. Dulu, aku tak perlu khawatir
tentang dia yang mempunyai banyak fans, sama sekali tak merasakan kecemburuan
ataupun sakit hati. Hanya saja, berbeda dengan kejadian itu. Untuk yang satu
itu, aku benar-benar lepas dari kendaliku.
Altair Rifqi Rajendra. Dimana semua memanggilnya
dengan sebutan Altair namun aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan
Rajendra. Dan hanya aku yang berani memanggilnya seperti itu, jika ada orang
lain yang memanggilnya dengan sebutan Rajendra maka dia akan marah. Aku memandanginya
seolah ini adalah lanjutan dari mimpiku semalam, namun lamunanku buyar ketika
pelayan membawakan pesanan untuk kami. Sial, sebegitu lamanyakah aku melamun
sangking nggak sadarnya bahwa dia telah memesan pesanan untuk kami berdua?
“Aurora Nabila Pradipta” Panggilnya. Aku hanya
menatapnya malas, aku tak ingin makan, dan dia menghambatku berkemas untuk
kembali ke kotaku. Kota itu bukan lagi kota kami. Kota itu sekarang hanya
kotaku dan kotanya. Akhirnya aku memilih untuk mengambil makanan yang telah dia
pesankan untukku.
Percayalah, aku bahkan tak merasakan makanan yang
tergolong favoritku ini, yakni nasi goreng capjay, entah dari mana dia bisa
mengetahui bahwa aku menyukai menu ini. Aku memakannya dengan tergesa. Aku
lelah jika harus berhadapan dengannya seperti ini. Aku masih belum siap jika
bertemu dengannya seperti ini. Sialnya, hatiku merasa utuh, seolah hatiku
memang harus bertemu dengannya untuk merasa lengkap.
“Pelankan makanmu, kamu menyakiti dirimu sendiri, Ra”
Aurora. Dia selalu memanggilku dengan sebutan itu
dibanding nama tengahku. Aku menyukai nama tengahku. Menurutku nama Aurora
terlalu cantik untukku. Karena kata Aurora mengingatkanku pada dongeng Putri
buatan Disney. Dan jelas bahwa aku
kalah cantik dari dia. Salah satu dongeng kesukaanku setelah Beauty and The Beast.
“Aku udah bilang Mamamu, kalo kamu pulang sama aku”
ujarnya santai seraya memakan makanannya dengan tenang. Berbanding terbalik denganku
yang langsung tersedak. Membuatnya menghentikan kegiatan makannya dan
menepuk-nepuk pundakku pelan. Membuatku membeku. Sentuhannya masih terasa senyaman
itu. Mengendikkan bahuku, membuat tangannya menggantung di udara. Dia menatapku
dengan pandangan yang aku tak dapat artikan.
“Nggak usah repot-repot, aku udah pesen tiket. Dan aku
nggak bakal kabur, kalo itu yang pengen kamu tau” Langsung saja aku beranjak
dari dudukku seraya menyerahkan pecahan lima puluh ribuan. Aku terlalu jengah
dengan sikapnya yang menganggap bahwa aku dan dia masih sedekat itu, meskipun
aku juga nggak bisa munafik bahwa aku semerindu itu, namun lebih baik aku pergi
dari hadapannya daripada hatiku makin terasa sakit.
Air mata tak dapat terbendung lagi di bola mataku. Aku
cukup terkejut dengan kehadirannya di kota ini, dan lebih terkejut lagi bahwa
Mama tak memberitahuku bahwa lelaki itu akan ke kota ini. Membuatku merasa
terkhianati sekali lagi. Bahkan, aku berpikir bahwa lebih baik aku benar-benar
merobek tiket pulangku saat ini. Lebih baik bukan dibanding aku harus bertemu
dengannya lagi. Jujur, aku masih sebegitu mencintainya, namun untuk bertemu
dengannya seperti ini, aku tak bisa. Aku belum sanggup. Dan mungkin takkan
pernah sanggup.
Mengabaikan tatapan penasaran dari orang-orang yang
berlalu lalang. Kakiku tetap melangkah dan aku membiarkan kakiku melangkah
sesuai keinginannya. Jika kalian bertanya mengapa hanya karena sahabatku
menyukai cinta pertamaku saja aku sampai sebegini sakit hatinya? Perlu kalian
tahu bahwa lelaki itu, yang mempunyai nama Altair Rifqi Rajendra adalah
kekasihku. Coba kalian yang ada di posisiku, apa kalian akan tetap merasa
baik-baik saja?
Saat kakiku akan menyeberang jalan, seseorang
menyentak pundakku dengan keras lalu aku mendengar bunyi klakson yang
memekakkan telinga. Mataku langsung menatap pada tatapan elang milik Rajendra. Melihat
aliran air mataku yang tak tebendung itu, membuatnya meneduhkan kembali mata
elangnya. Membuatnya memelukku. Membuatku semakin meraung dalam dekapannya. Aku
ingin meneriakkan padanya bahwa aku merindukannya juga, namun aku tak bisa.
Tidak setelah dia mengkhianatiku.
Rajendra menarikku untuk kembali ke mobilnya. Aku
hanya menurut. Bisakah, aku menjadi egois sejenak? Bisakah aku menganggap bahwa
hanya aku yang ada di dalam benaknya saat ini? Bisakah aku menganggap sikapnya
kepadaku ini adalah sikap kekasih yang peduli? Hanya hari ini saja, cukup
selama perjalanan dari kota ini menuju kotaku, paling tidak itu membutuhkan
waktu seharian bukan? Lebih dari cukup bagiku.
♥
Ternyata Rajendra tidak menyetir sendiri. Ada tiga temannya
yang menemani. Setelah dari café, dia mengantarku menuju kosan untuk mengambil
barangku yang telah aku kemas setengah. Aku tak membawa banyak baju karena
bajuku tersisa sangat banyak di rumah. Setelah membereskan kamarku, aku turun
dan menemukan Rajendra duduk bersandar di kursi tamu dengan mata terpejam. Satu
senyuman terukir di bibirku. Aku terlalu paham bahwa dia lelah. Aku tau
seberapa sulitnya dia akan tertidur di perjalanan. Dulu, dia selalu dapat
tertidur ketika aku menggengam tangannya atau dia bersandar di pundakku. Untuk
yang satu itu selalu membuatku bertanya apakah dia tak merasakan sakit karena
perbedaan tinggi kami yang cukup mencolok. Bahkan, setelah dua tahun, tinggi
dia masih terus bertambah. Membuatku hanya sebatas di bawah bahu dia sedikit.
Sangking lamanya aku menatapnya, aku tak sadar bahwa
dia telah membuka matanya dan menatap mataku. Detik itu aku merasa bahwa rasa
cintanya padaku masih ada. Belum padam. Tersenyum miris. Anggap saja dia memang masih mencintaimu, Bil batinku. Dia beranjak
dari duduknya dan mengambil alih bawaanku. Tak banyak, hanya satu koper, satu
tas jinjing untuk segala barang yang kubutuhkan di perjalanan, serta tas laptop
yang memang wajib aku bawa untuk membunuh liburanku dengan menonton film atau
drama.
Memasuki mobil dan segera bergegas menuju hotel tempat
dia menginap kemarin. Dalam perjalanan, aku hanya terdiam, menikmati
pemandangan dari jendela. Terdengar alunan lagu milik 5 Seconds to Summer yang
kuhafal sebagai salah satu band kesukaan Rajendra. Satu senyum terbit dari
bibirku. Aku mengingat bagaimana dia mengenalkanki pada grup band asal
Australia itu. I wish that I could turn
back time, Dra batinku. Ya, seandainya aku dapat memutar waktu dan
menjauhkan Rajendra dari gadis itu. Pastinya, saat ini aku masih bersamanya,
berkuliah di satu universitas yang sama serta menghabiskan waktu bersama.
For a while
we pretended
That we never
had to end it
But we knew
we'd have to say goodbye
Sial, mengapa lagu ini terasa seperti menyindirku?
Terdengar Rajendra menyanyikan lagu tersebut. Percayalah, aku merindukan suara
merdunya itu. Dulu, dia selalu berkata bahwa ingin membentuk sebuah band
bersama teman-temannya, namun tak mendapat ijin dari kedua orang tuanya,
membuatnya mengubur keinginannya tersebut dan hanya memelajari gitar secara
otodidak dan hebatnya dia langsung menguasai alat musik tersebut. Alhasil, dulu
dia selalu melakukan pertunjukan kecil di depanku.
Setelah sampai di salah satu hotel yang terbilang
mewah, Rajendra memasuki kawasan hotel dan aku mengikuti dari belakang.
Membuatnya berbalik dan menggenggam tanganku, langkahnya menuju pada sofa
tunggu hotel. Dia mendudukkanku di sofa panjang. Dan berkata padaku untuk
menunggunya sebentar. Membuatku menganggukkan kepalaku. Dia berjalan menjauh
dengan sesekali menoleh padaku. Aku paham bahwa dia takut aku kabur dari tempat
ini. Tidak, aku ingin sekali saja menjadi egois dan menuntaskan rindu yang
menyiksaku selama aku berada di kota ini.
Saat aku sedang sibuk dengan ponselku, aku merasakan
seseorang menduduki sofa di sebelahku. Membuatku menghentikan kegiatanku dalam
melihat beberapa foto terbaru dari aktor Korea kesukaanku. Terlihat Rajendra
memejamkan matanya, lalu tak lama dia menyandarkan kepalanya pada pundakku.
Membuatku mematung. Aku hanya berharap bahwa dia tak mendengar degupan
jantungku yang tak beraturan karena dirinya.
Aku membiatkannya dan kembali memainkan ponselku. Aku
membuka salah satu permainan yang mudah untuk dimainkan yakni Zombie Tsunami, percayalah bahwa
permainan seperti itulah yang teramat cocok denganku. Saat aku sedang asik
bermain, sepertinya yang dimaksud Rajendra sebagai temannya telah datang untuk
berkumpul, terbukti dari ucapannya yang mengatakan Noh, si Altair lagi tidur. Karena aku mengerti, aku tersenyum dan
mengangguk. Bagaimanapun juga aku masih punya sopan santun. Aku terlampau paham
bahwa sesaat setelah namanya disebut, Rajendra pasti bangun. Terbukti dengan pundakku
yang meringan, namun anehnya aku merasa kosong setelahnya.
“Hai, nama gue Revita” ujar satu-satunya wanita dalam
kelompok itu
“Alvaro”
“Bagas” Menjabat satu-satu tangan teman-teman
Rajendra. Sepertinya mereka semua orang baik. Karena senyum tak pernah luntur
dari wajah mereka.
“Langsung aja deh. Tapi, jangan Altair lagi yang
nyetir, kamu aja ya, Va. Ntar gantian gitu. Aku temenin duduk depan deh”
“Nggak usah gantian juga gapapa kalo kamu temenin aku
di depan terus” sahut Alvaro. Aku menebak bahwa mereka pasti memiliki hubungan.
Terlihat juga dari genggaman tangan Alvaro yang terlihat sangat protektif.
“Anjir, nggak ah. Masak gue jadi obat nyamuk sih?
Ogah, Revita di tengah, temenin si Nabila” sahut Bagas yang membuat kami semua
tertawa. Akhirnya, kami setuju dengan ide Bagas.
Kami akhirnya memulai perjalan kembali ke kota kami. Begitu
masuk mobil, Rajendra kembali bersandar di pundakku. Dan tak lama terdengar
dengkur halus dari bibirnya, menandakan bahwa dia telah terlelap dalam
tidurnya. Aku tersenyum menatapnya. Ketika dia tertidur, maka muka
menyebalkannga menghilang, tergantikan dengan mukanya yang polos dan tampan.
Mata elang itu tetap terasa tajamnya, namun tak membuat orang ketakutan.
“Altair hancur, Bil” ujar Revita, membuatku menatap
dia yang berada di sebelahku. Rajendra memilih untuk di pinggir jendela agar
berada hanya di sebelahku. Aku terdiam, karena aku tak tahu alasan dia hancur.
Bukannya aku yang harusnya hancur? Yang berkhianat di sini dia kan?
“Lo harus tau seberapa gilanya dia waktu tau ada nama
lo di daftar mahasiswa Manajemen namun lo nggak muncul sama sekali”
“Gue mutusin buat milih kampus gue saat ini” jawabku
“Dan dengan menghapus segala akses dia untuk
ngehubungin lo?” tanya Revita tajam. Alvaro menegurnya, mengatakan bahwa bukan
hak Revita untuk menceritakan. Aku terdiam, menurutku sikap Revita adalah
wajar. Toh, Rajendra adalah teman Revita kan? Aku tahu bahwa sejak SMA hingga
Rajendra mengambil jurusan Hukum mereka selalu bersama, hanya saja aku belum
sempat berkenalan dengannya.
“Bahkan awal-awal tau lo nutup segala akses sampe
nyokap lo ikut-ikutan, dia menggila. Nggak tidur tiga hari buat nugas dan nyari
keberadaan lo. Kerjaannya di kelas Cuma ngelamun bahkan IP dia turun drastis
gegara itu”
Aku ingin memercayai ucapan Revita, namun bagaimana
bisa? Bukankah harusnya dia bahagia? Dengan gadis itu? Aku ingin memercayai,
karena aku tau bahwa sebagian besar hatiku masih dimiliki olehnya. Namun,
sekelebat kenangan itu membuatku terdiam. Revita teman Rajendra bukan? Pastinya
Revita lebih memilih berada di pihak Rajendra dibandingkan di pihakku. Aku
bahkan meragukan bahwa Revita mengetahui tentang pengkhianatan Rajendra.
Tak memberikan respon apapun dan memilih untuk
memejamkan mata. Aku lelah. Aku merasa bahwa hari ini teramat panjang.
Beruntung aku mengingat untuk membawa bantal leher, membuatku tak merasakan
nyerinya leher ketika dalam perjalanan panjang. Sialnya, bagaimanapun aku
memejamkan mata, tetap saja aku tak tertidur, namun begini lebih baik
dibandingkan aku haru mendengar ocehan tak masuk akal dari Revita. Jika
Rajendra memang benar sepanik itu, harusnya dia dengan mudah menemukanku bukan?
Aku rasa, aku telah memberitahunya daftar kampus yang aku inginkan, jadi
harusnya dia telah mengetahui ke mana aku akan melanjutkan pendidikanku bukan?
Lama aku terdiam dalam posisi memejamkan mata ini.
Hanya terdengar alunan lagu dari speaker mobil serta mereka yang bernyanyi
mengikuti lagu. Sampai aku merasakan pundakku meringan, menandakan bahwa
Rajendra terbangun. Merasakan bahwa dia menyandarkan kepalaku pada pundaknya.
Membuat kerja jantungku meningkat karenanya. Pundaknya masih senyaman saat dua
tahu yang lalu. Dan hal ini membuat air mataku kembali mengumpul, mendesak
untuk keluar dari singgasananya. Aku menahan agar aku tak menangis dan
menghancurkan aktingku ini.
“Jangan ikut campur, Rev. She must be have her own reason, isn’t it? What I want is just she’s by
my side. That’s enough. Jangan maksa dia untuk merubah apapun yang dia
anggap benar. Itu tugas gue” terdengar suara Rajendra lirih. Menandakan bahwa
dia takut membangunkanku, yang benar-benar terasa sia-sia karena aku mendengar
setiap kata yang dia ucapkan.
“Paling nggak dia ngerti kalo lo kacau, Al. Gue liat
mukanya kek dia nggak ada salah gitu, jengkel gue. Sedangkan lo mati-matian
nyari keberadaan dia dan bela-belain nyusulin dia ke sini. It’s not fair for you!”
“Apa yang adil dan nggak adil bukan lo yang nentuin,
Rev. Gue belum tau alasan dia. Gue ngerti Aurora. Dia nggak mungkin ngelakuin
sesuatu tanpa mikir panjang lebih dulu”
Tak ada sahutan dari pihak Revita, hanya terdengar
dengusan keras darinya. Menandakan bahwa percuma mengatakan pembelaan lagi jika
sudah berdebat dengan Rajendra. Merasakan belaian halus di pundakku. Dan tanpa
bisa dicegah setetes air mata mengalir di sebelah kanan mataku. Menahan diriku
untuk tetap memejamkan mataku. Demi apapun aku merindukan Rajendra. Aku ingin
memeluknya erat. Bolehkah sekali saja aku menjadi egois dan menyimpan Rajendra
hanya untuk diriku saja? Menggerakkan leherku sejenak. Mencari posisi
ternyamanku untuk bersandar padanya. Rajendra mengerti, dan membantuku mencari
posisi ternyaman.
“Kalo lo kira Cuma gue yang gila, lo salah, Rev.
Karena dari awal gue ketemu dia lagi, mata itu bukan lagi milik Aurora. Yang
terlihat hanya luka di matanya. Gue nggak ngerti salah apa gue, Rev. Tapi dari
yang gue paham adalah dia sama hancurnya sama gue”
Kenapa dia juga harus hancur? Bukankah harusnya dia
senang karena aku pergi maka dia bisa dengan bebas bersama dengan gadis itu?
Apa dia kurang puas hanya memiliki satu gadis dan ingin memiliki banyak gadis
dalam hidupnya. Anehnya, aku merasakan pipiku basah. Aku sudah tak tahu lagi
bahwa aku tak dapat menahan tangisanku ini. Beruntung aku tak mengeluarkan
isakan apapun. Lalu, tanpa sadar aku sudah terlelap dengan mimpi-mimpi yang tak
seharusnya muncul kembali. Terlalu lelah aku terbangun, membiarkan mimpiku
mengambil alih tentang kenanganku bersama Rajendra. Hanya ada kami berdua.
♥
Merasakan mobil telah berhenti, membuatku ingin menegakkan
kepalaku saat aku merasakan beratnya kepalaku. Rajendra sedang tertidur. Menghela
nafas panjang. Menggerakkan tubuhku sedikit, dan benar Rajendra langsung
terbangun dari tidurnya. Matanya menatap tajam mataku. Seakan banyak kata yang
ingin dia ungkapkan, namun dia menahannya. Melihat keadaan sekitar, kami
berhenti di pom bensin. Membuatku bernafas lega.
“Bisa permisi sebentar nggak? Ak—gue kebelet nih”
ujarku. Rajendra tersentak. Membuatnya menatapku tajam. Aku paham apa yang dia
maksud. Bahasaku yang berbeda padanya. Bukankah seharusnya begini? Melihat
Rajendra tak ada pergerakan sedikitpun. Dia hanya menatapku tajam. Menolehkan
kepala ke samping kiriku, Revita sedang tertidur dengan lelapnya, membuatku tak
tega untuk membangunkannya. Kembali berhadapan dengan Rajendra, dia masih
menatapku tajam. Menghembuskan nafas pelan.
“Aku serius, aku kebelet, Dra. Bisa permisi nggak?”
Dan Rajendra membuka pintu dan keluar mobil. Membuat mau tak mau memutarkan
mataku. Harus banget pake bahasa begitu dulu baru dia akan beranjak? Too childish untuk ukuran usia dia. Dan
itu memang Rajendra.
Selesai menyelesaikan urusanku. Aku duduk di pinggiran
pom bensin. Mengecek ponselku dan membalas chat
milik Devi. Saat sedang fokus memainkan ponsel, aku merasakan seseorang
duduk di sampingku, dan aku paham bahwa dia adalah Rajendra. Mencoba
mengabaikannya dan tetap memainkan ponsel. Aku telah lama tertidur. Sedangkan
anak-anak yang lain sepertinya baru saja terlelap.
“Aku pengen maki kamu boleh?” tanya Rajendra
“Boleh, nggak ada yang ngelarang juga” jawabku sambil
tetap memainkan ponsel, dan Rajendra langsung mengambil ponselku kasar.
Menghembuskan nafas lelah. Aku menatap tanah di depanku. Rasanya itu lebih
menarik dibandingkan wajah di sebelahku.
“Did I do
something wrong?”
“Apa sebenernya maksud dari sesuatu yang salah itu?”
“Kalo aku tau juga, aku nggak mungkin tanya kamu kan?”
“Artinya nggak ada yang salah. Problem solved”
“I know that you
were crying while you slept a few hours ago”
“Terus hubungannya apa?”
“Kamu pembohong”
“I do”
“Kamu mengingkari janji”
“I do”
Tak ada balasan dari ucapanku barusan. Membuat
memberanikan diri untuk menatap ke arahnya. Terlihat bahwa tatapan terluka itu
hadir dalam mata elangnya. Membuat mata elang itu tak lagi tajam melainkan terluka.
Membuat siapapun yang melihatnya akan ikut merasakan luka yang dia pancarkan.
Tak terasa air mataku mengalir kembali. Sial, berapa kali sudah aku menangis
dalam sehari ini? Entah sudah sebengkak apa mataku ini, dan aku tak tahu akan
sebengkak apa nantinya mataku.
Rajendra memelukku. Membuatku terdiam dan membalas
pelukannya. Aku merindukannya. Aku teramat merindukannya. Aku egois malam ini.
Biarkan aku untuk memilikinya untuk diriku sendiri malam ini. Untuk malam ini
saja, ijinkan aku untuk merasakan kebahagiaan sejenak. Karena besok, aku mengerti
bahwa Rajendra akan kembali pada gadis itu. Gadisnya. Bukan aku.
“Aku kangen kamu” ujarku lirih. Membuat pelukan
Rajendra semakin mengerat. Rajendra membelai ranbutku pelan. Tak lupa dia juga
mendendangkan alunan lagu untuk menenangkan tangisku. Kebiasaannya dari dulu
yang selalu sukses membuatku tenang dan berhenti untuk menangis.
“Boleh malem ini aja aku jadi satu-satunya gadismu,
Dra? Boleh malem ini aja aku anggep kamu Cuma punya aku?”
Pertanyaanku membuatnya menghentikan belaian di
rambutku dan melepaskan pelukannya. Rajendra menatapku tajam. Aku tau dia
sedang mengolah pikirannya. Aku paham dia pasti mengerti apa maksudku kan?
Untuk kali ini saja, biarkan aku menjadi gadis jahat yang tak mempunyai
perasaan.
“Kamu memang satu-satunya gadisku, Ra. Nggak pernah
ada orang lain dan nggak akan ada. Apa maksud dari perkataanmu, Aurora?”
Tersenyum akan ucapannya. Baiklah, dia sudah mulai
memerankan perannya sebagai satu-satunya milikku, bukan? Menganggukkan kepalaku
dan memilih bersandar pada pundaknya. Nyaman. Sangat nyaman. Salah satu tempat
ternyamanku selama ini. Pundaknya yang lebar dan berisi membuatku selalu
tenang, namun entah kenapa aku merasa bahwa berat badannta berkurang. Terbukti
dengan kerasnya pundak dia saat ini, serta tulang pipinya yang semakin
menonjol.
“Kamu kurusan, Dra?”
“Karena motivasiku buat hidup pergi gitu aja dari
hidupku”
“Kamu jelek kalo kurus, Dra. Keliatan makin jutek”
Rajendra menggenggam tanganku erat. Aku menyukai ketika dia menggenggam
tanganku seperti ini, seolah dia takut kehilanganku. Jantungku berdetak dengan
kerasnya. Efek dari dia memang sebegini hebatnya.
“Makanya kamu jangan pergi lagi dari aku” Tersenyum
akan ucapannya. Aktingnya benar-benar bagus. Sepertinya dia layak mendapatkan award atas aktingnya yang luar biasa.
Yang melangkah duluan dia atau aku? Namun aku menahannya, meskipun aku sakit hati,
aku tetap tersenyum mengikuti permainannya.
“Bagaimana bisa aku meninggalkanmu ketika di hatiku
telah penuh akan namamu, Rajendra?” ujarku lirih. Aku tak berbohong akan hal
itu. Hatiku masih terpenuhi akan namanya. Di pikiranku juga masih terpenuhi segala
sesuatu tentangnya. Bahkan, aku mengabaikan semua lelaki di kampusku yang
berniat mendekatiku.
“Bolehkah aku menganggap bahwa ucapanmu ini nyata?”
“Kamu tau bahwa aku jarang berbohong, Dra”
“Boleh aku tanya kenapa kamu lebih milih Bandung
dibanding Surabaya, Ra?”
“Kamu tau seberapa besar keinginanku untuk kuliah di
Unpad, Dra”
“Tidak setelah kamu bilang kalo kamu pengen sama aku
di Unair”
“Anggap aja aku labil” ujarku seraya menatap langit.
Lagit saat ini terlihat kelam, anehnya aku malah menyukainya, karena banyak
bintang yang terlihat dari bawah sini. Bersinar terang seolah menyamai
perasaanku saat ini. Meskipun hatiku teriris, namun aku merasakan kebahagiaanku
yang lengkap. Dengan adanya dia di sini.
“Boleh aku tanya kenapa kamu milih mendua, Dra?” tanyaku
reflek. Bodoh. Harusnya aku tak melepaskan pertanyaan seperti itu. Biarkan aku
menikmati kebahagiaanku lebih lama lagi. Perlahan genggaman tangannya
mengendur, dan aku bangun dari pundaknya. Secara langsung, aku menundukkan
kepalaku. Aku tak sanggup menatap matanya.
“Jangan dijawab, Dra. Anggep aja aku nggak tau
apa-apa. Dan biarin, malem ini aja, Cuma aku yang miliki kamu, nggak ada orang
lain” lanjutku
“Kenapa kamu menanyakan pertanyaan bodoh seperti itu,
Aurora?” nadanya dingin. Dan aku memahami bahwa dia sedang marah. Memberanikan
diri untuk menggenggam tangannya lagi. Mengeratkan genggamanku lalu kembali aku
menyandarkan kepalaku di pundaknya. Memilih untuk memejamkan mataku dibanding
aku harus menatap matanya ataupun mendengar penjelasannya. Tangan lain Rajendra
membelai rambutku pelan. Demi apapun aku sangat merindukan suasana seperti ini.
Rajendra kembali mendendangkan alunan lagu kesukaannya. Membuat mataku berat
dan aku kembali pada alam mimpi.
♥
Mataku mengerjap untuk terbuka ketika aku merasakan
seseorang mengguncang tubuhku pelan. Mencoba untuk memfokuskan pandanganku dan
terlihat Rajendra dengan senyumnya. Memindahi mataku untuk melihat sekita, saat
ini kami sedang berada di dalam mobil. Tersenyum akan tingkah Rajendra yang
selalu memilih menggendongku dibandingkan harus membangunkanku. Seperti
kebiasaanku saat dulu selalu tertidur ketika aku memintanya untuk mengajariku pelajaran.
“Sholat subuh dulu, Ra” ucapnya
“Aku lagi nggak sholat, Dra. Kamu keluar deh gapapa.
Aku di mobil aja” ujarku. Menuruti omonganku, dia beranjak keluar mobil dan aku
memilih untuk memejamkan mata kembali. Keinginanku adalah melanjutkan kembali
tidurku yang terganggu.
Aku merasa masih tertidur saat terdengar pintu mobil
terbuka dan menutup dalam waktu yang bersamaan. Dan aku mendengar beberapa
orang sedang berdebat. Aku ingin sekali membuka mataku dan bertanya apa yang
sedang terjadi namun, mataku terasa terlalu berat untuk dibuka.
“Lo bego atau bego sih, Al?” suara Revita menggema di
mobil
“Jangan menghakimi, Rev” entah itu suara siapa, aku
tak terlalu mengenalnya
“Gue nggak menghakimi, gue Cuma mau si Altair mikir
pake otaknya. Kenapa dia nggak langsung nyelesaiin masalahnya tapi malah
nyetujuin permintaan bodoh ceweknya, Gas? Otak dia di mana?” Oh, yang tadi
menjawab pertanyaan Revita adalah Bagas.
“Ta, kamu tau kalo Altair pasti pake otaknya juga
sebelum menyetujui permintaan, Nabila” aku tahu bahwa yang berbicara barusan
adalah Alvaro.
“Gue nggak ngerti apa yang ada di pikiran Aurora, Rev.
Yang gue tau, sepertinya gue salah satu penyebab dia pindah, dan sepertinya gue
udah nyakitin dia” suara Rajendra pelan
♥
Setelah perjalanan panjang, akhirnya kami sampai juga.
Rajendra mengantar satu-satu temannya pulang. Jelas saja aku yang terakhir dia
antar, karena rumah kami satu kompleks hanya berbeda beberapa blok saja.
Keheningan tercipta saat ini. Aku menyadari bahwa, waktu pura-puraku telah
habis. Aku menyadari bahwa aku akan kembali pada kenyataan di mana dia lebih
memilih gadis itu. Tersenyum miris. Sampai sini sajakah kebahagiaanku?
Memandangkan mataku pada jendela. Kota ini telah banyak berubah. Aku merasa terlalu
banyak perubahannya. Heran, padahal aku hanya meninggalkan kota ini selama dua
tahun saja. Semakin banyak saat ini gedung pencakar langitnya, serta banyaknya
perluasan daerah.
Rajendra juga tak mengeluarkan kata apapun. Membuatku
yakin bahwa waktu pura-pura kita sudah melewati batas. Sedikit menyesal karena
aku banyak menghabiskan perjalanan dengan tidur. Jika aku bangun, maka Rajendra
yang tidur. Biar saja, paling tidak aku telah memiliki kenangan dengannya walau
hanya sejenak. Kenangan yang akan aku ingat sampai kapanpun. Ah tidak, kenangan
itu akan hilang nantinya aku telah bertemu dengan seseorang yang mampu
menggantikannya, namun bahkan pikiranku menolak gagasan itu.
“Mau makan siang dulu, Ra?”
“Boleh, aku pengen McD yang Happy Meal deh. Hadiahnya lagi Minion soalnya”
“Kebiasaanmu nggak pernah berubah ya. Udah gede gini,
masih aja demen Happy Meal”
“Apa yang salah dari menu itu? Toh, mainannya selalu
lucu-lucu. Kan bikin pengen”
“Sudah berapa mainan yang jadi koleksimu di Bandung?”
“Nggak ngerti deh, nggak pernah ngitung sangking
banyaknya” jawabku yang langsung menimbulkan tawa di antara kami. Mendengar
tawa Rajendra, membuat hatiku berdesir. Aku rindu tawa itu. Tawanya yang ringan
dan lepas. Membuat matanya yang tajam tertarik ke atas. Dia selalu manis ketika
tertawa seperti itu. Andai aja penyebab
kamu tertawa selalu aku ya, Dra batinku. Walaupu aku tahu bahwa itu semua tidak mungkin.
Kami memasuki parkiran McD. Setelahnya kami memasuki
restoran dan aku mengambil tempat duduk sedangkan Rajendra memilih untuk
memesan. Satu kebiasaan kami sedari dulu, sejak kami diperbolehkan untuk keluar
sendiri. Rajendra yang akan memesan dan aku yang akan mencari tempat duduk.
Dulu, selalu ada satu orang lagi yang menemaniku. Dulu, sebelum ada
pengkhianatan di antara kami bertiga. Menghembuskan nafas lelah. Jujur,
terkadang aku ingin mengulang waktu di mana semua baik-baik saja dan tak ada
masalah yang serius.
Tak lama, Rajendra datang membawa pesanan. Terlihat
olehku bahwa dia juga memesan sama seperti pesananku. Terdapat Minion serta
Agnes di atas nampan tersebut. Membuat senyumku mau tak mau mengembang. Aku
suka pada Agnes, karena dulu, Rajendra mengatakan bahwa pipi Agnes membuatnya
mengingatku. Kami makan dalam diam. Aku berkosentrasi untuk menghabiskan
makanku serta memikirkan rencana apa yang aku lakukan untuk mengakhiri
sandiwara ini.
“Dra”
“Hmm?” Rajendra hanya menggumam karena terlalu fokus
pada makanannya
“Kita akhiri sandiwara kita di sini aja ya? Aku bisa
pesan Uber untuk pulang nanti” kataku
“What do you
mean about drama? Lebih tepatnya drama apa yang kamu maksud?”
“Kamu tau bahwa aku nggak suka jadi yang nomer dua,
Dra. Jadi, makasih udah mau pura-pura jadiin aku yang pertama”
“Kamu dari kemarin selalu bilang hal yang kayak gitu,
seolah aku selingkuh dari kamu. Padahal yang pergi itu kamu bukan aku”
“Nggak usah sok nyalahin aku, Dra. Kita sama-sama
introspeksi diri aja”
“Aku sudah memikirkannya sejak kamu mengatakannya tadi
malem, Ra. Dan semua yang kamu omongin itu nggak berdasar. Dari mananya aku
selingkuh itu?” Rajendra menghentikan kegiatan makannya dan menatapku tajam.
Memberanikan diri untuk menatap ke dalam dua mata elang itu, anehnya aku tak
menemukan adanya kebohongan, yang ada hanya keseriusan ucapannya, dan rasa
sakit. Terdiam aku dibuatnya. Mata itu, terlalu jujur untuk disebut berbohong.
“Aku lihat semuanya, Dra”
“Apa yang kamu lihat itu sudah kamu konfirmasi dulu ke
aku, Ra? Kamu sendiri tahu bahwa kadar cemburumu itu selalu mengalahkan
logikamu sendiri. Bukannya aku selalu ingetin kamu dulu untuk selalu
mengkonfirmasinya ke aku?” Nadanya tenang, namun justru itulah yang menbuatku
takut. Entah apa yang membuatku takut, namun aku selalu merasa bersalah ketika
dia memakai nada yang tenang ketika marah.
“Tapi, aku denger sendiri apa yang kamu omongin dan kamu
lakukan, Dra. Buat apa aku konfirmasi lagi ke kamu kalo kamupun telah telak
menjabarkannya dengan bibirmu?”
“Sekaran aku tanya sama kamu, Ra. Apa yang aku ucapkan
dan aku lakukan?”
“You said you
love her. And you hugged her so tight”
Selesai mengatakannya, otakku memaksa memikirkan
saat-saat itu. Saat dia mengucapkan kata “sayang” kepada gadis itu dan
memeluknya erat. Harusnya gadis itu sadar diri karena Rajendra adalah kekasihku.
Rajendra adalah milikku. Dan aku tak suka menjadi yang nomer dua. Harusnya
Rajendra sadar akan hal itu. Tanpa kusadar, air mataku mengalir deras. Membuat
Rajendra menatapku panik. Aku sangat paham bahwa Rajendra selalu tak suka
melihatku menangis tanpa adanya alasan.
“Who is she, Ra?”
“Ayu”
Jawabanku membuat mata Rajendra terbuka penuh. Ada
keterkejutan di sana. Rajendra terdiam sambil menatapku tajam. Aku mengerti
arti pandangan itu. Tandanya dia sedang menahan amarahnya. Rajendra masih
terdiam melihatku sudah berlinang air mata. Jika biasanya Rajendra akan menenangkanku,
maka saat ini dia takkan melakukannya, karena aku melihat adanya amarah dalam matanya.
Mencoba untuk mengontrol tangisku. Aku tahu dia menungguku untuk berhenti
menangis sehingga dia bisa menjelaskannya padaku. Bahkan, jika nantinya Ayu
yang dipilih olehnya, aku rela. Bohong, aku takkan pernah rela, namun aku lebih
mementingkan kebahagiaan dia dibanding sikap ketidak relaanku.
“Find your
happiness, Dra. I will let you go as
long as you happy”
“How can I’m
happy is my happiness is so far away from me, Ra. Kasih tahu aku gimana aku
bisa bahagia kalo kamu bahkan nggak bisa percaya sama aku?!” suaranya sedikit
meninggi. Membuat beberapa orang menengok sejenak ke meja kami. Baik aku maupun
Rajendra tak ada yang memerdulikan keadaan sekitar, yang penting bagi kami
adalah masalah kami selesai.
“Kamu Cuma denger pas aku ngomong sayang dan meluk dia
aja?”
“Apa mau kamu aku mendengarkan seluruh rangkaian kisah
romantis kalian di belakangku?”
“Demi Tuhan, Aurora. Aku bahkan nggak berniat
sedikitpun buat selingkuh! Kamu tahu seberapa perjuangan aku buat dapetin kamu,
Ra. Dan aku nggak sebego itu buat selingkuh di belakang kamu. Kalo kamu Cuma
denger separuh dari ceritanya itu, kamu nggak akan ngerti gimana akhir dari
kisah itu..”
“Ayu memang bilang kalo dia cinta sama aku. Dan aku
juga bilang sayang ke dia, tapi sayang yang sebagai adik aja. Aku nggak akan
bisa mencintai dua orang dalam waktu yang bersamaan, Ra. Aku nggak sebrengsek
itu kalo kamu pengen tahu. Kamu tahu apa yang aku ucapkan ke dia? Aku bilang
kalo aku nggak mungkin mengkhianati rasa cintamu ke aku, Ra. Dan setelahnya,
dia pamit buat ke luar negeri. Ketika aku sama dia dateng ke rumah kamu, Bibi
bilang kalo kamu udah berangkat ke luar kota. Kamu tau seberapa hancurnya aku,
Ra? Aku hancur, Ra!”
Mencerna omongan Rajendra. Rajendra bahkan sampai
mengacak rambutnya kasar. Sorot mata lelah jelas nampak di kedua matanya,
membuatku merasa bersalah. Aku terlalu bodoh untuk tak menanyakan kembali pada
Rajendra. Aku seharusnya memahami bagaimana sikap Rajendra, karena nyaris
setengah hidupku aku habiskan bersamanya. Dia yang menemaniku pertama kali masuk
sekolah dasar meskipun dia adalah kakak tingkatku. Dan keadaan ini berlanjut
sampai aku lulus SMA. Bodohnya, aku langsung telan mentah-mentah informasi
tersebut.
Menundukkan kepalaku. Bodoh. Sepertinya kata itu telah
menyelip ke dalam nama tengahku. Aku terlalu bodoh untuk langsung percaya
begitu saja. Bahkan, aku sampai menutup segala akses komunikasi agar dia tak
dapat menemukanku. Bahkan aku sampai rela tak pulang ke kota ini selama dua
tahun hanya karema rasa cemburuku yang tak berdasar. Bahkan, aku sampai rela
untuk menyakiti diriku sendiri dan dia untuk saling memendam rindu hanya karena
amarahku yang tak beralasan.
Rajendra memegang pipi kananku. Mengangkat wajahku
agar menatap ke arahnya. Terlihat air mata telah menumpuk di kedua matanya.
Menggelengkan kepalaku, aku ingin menyentuhnya, hanya saja aku terlalu malu
karena sikap bodohku ini. Aku ingin mendekapnya sebagaimana dia selalu
mendekapku ketika aku bersedih namun aku masih tak dapat menggerakkan anggota
tubuhku karena penjelasan rincinya tersebut. Aku terlalu malu pada diriku
sendiri. Hingga aku tanpa sadar menjadi satu-satunya penyebab sakit hatinya
dia. Betapa ironisnya hidup ini.
“Aku mohon, Ra. Back
to me. I don’t know how to live my life without you. Aku tahu kalo yang aku
ucapkan ini terlalu sulit dipercaya, tapi kamu perlu tahu kalo aku tak
berbohong, Ra. Aku nggak akan maksa kamu buat kuliah di Universitas yang sama
kayak aku. Aku Cuma mohon kamu balik ke aku, Ra. LDR bukan suatu masalah besar
bagiku asalkan itu sama kamu, Ra”
Air mataku kembali menetes. Dari sekian banyaknya
makian yang pantas dia ucapkan padaku mengapa justru hal itu yang terucap dari
bibirnya? Rajendra benar-benar paham bagaimana menyiksa seseorang. Tangannya
yang berada di wajahku mengahapus air mataku perlahan. Gerakannya teramat
pelan. Seolah aku adalah benda yang mudah rapuh. Rajendra mengeluarkan senyum
tipisnya. Membuat tersenyum padanya juga.
“Aku…”
“Aku minta maaf, Dra. Aku terlalu bodoh dan tak
berpikir panjang. Maafin aku yang terlalu bodoh untuk tak mempercayai cintamu,
Dra. Aku….” Kata-kata tertutupi raungan tangisku. Membuat banyak pengunjung yang
menatap ke arah kami. Rajendra langsung bertindak, dia bangun dari duduknya dan
membawa mainan di atas meja tersebut lalu dia menarikku keluar.
Kami memasuki mobil. Rajendra belum ada keinginan
untuk menyalakan mobil. Membuatku hanya terdiam dengan air mata masih saja
mengalir tanpa henti. Oh percayalah, besok mataku akan bengkak. Namun, aku tak
dapat menyembunyikan rasa bersalahku padanya. Tidak setelah penjelasannya
padaku. Aku bahkan tak percaya bahwa dibalik otakku yang mumpuni dalam hal
pendidikan, aku terlalu bodoh dalam hal memahami perasaan orang ketika cemburu
telah mutlak menguasai diriku.
Rajendra menyerahkan tokoh Agnes padaku. Membuatku
menatap matanya, dan tanganku perlahan menerima mainan itu. Aku teramat ingat
bagaimana dia selalu berkata bahwa pipiku mirip dengan karakter ini. Lalu aku
merasakan Rajendra memelukku erat. Dia menenangkanku dengan menepuk pelan pundakku. Dalam
pelukannya kali ini, aku merasakan bahwa paru-paruku terisi. Aku merasa bahwa
aku dapat bernafas dengan lega. Pelukan Rajendra adalah pelukan paling nyaman
setelah pelukan milik kedua orang tuaku. Dalam pelukan Rajendra, aku dapat
mendengarnya yang berkata bahwa dia merindukanku.
“I love you”
“Aku juga cinta kamu”
Untuk kali ini saja. Ijinkan aku mendapatkan
kesempatan kedua darinya. Ijinkan aku memperbaiki kesalahan fatal yang telah
aku buat. Ijinkan aku menyembuhkan luka di hatinya dia yang telah aku bentuk
karena sikap bodohku. Ijinkan aku mencintainya sekali lagi dengan benar. Karena
pun aku dan dia mengerti bahwa kita memang harus bersama untuk merasa lengkap.
Aku dan dia memang harus menjadi kita untuk mendapat bahagia. Aku dan dia
memang harus bahagia bersama untuk dapat mengalahkan dunia yang kejam. Karena,
aku dan dia meyakini bahwa bersama adalah takdir bagi kami.
Komentar
Posting Komentar