Mematutkan diriku sekali lagi di depan cermin. Aku akan memulai magang
pertamaku di perusahaan negeri yang untungnya aku dapatkan dengan mudah. Memberikan
parfum pada badanku serta merapikan kembali bajuku agar tak terlihat kusut. Aku
siap untuk memulai salah satu perjalanan yang harus kutempuh untuk
menyelesaikan studi strata satuku. Mengukirkan senyum pada diriku sendiri untuk
menyemangatiku. Setelah kurasa siap, aku melangkahkan kaki keluar dari kamar
kosku dan berangkat ke perusahaan.
Setelah sampai di perusahaan, aku langsung menuju bagian administrasi
dan menyerahkan berkas magang yang telah disetujui sebelumnya. Bagian
administrasi langsung memberitahuku devisi yang akan aku tuju. Dan devisi
umumlah tempatku akan mengabdikan diriku. Begitu aku memasuki ruangan di lantai
dua ini, banyak mata yang tertuju padaku. Membuatku langsung menundukkan
pandang. Aku malu. Itu sudah tak dapat diragukan lagi. Menarik nafas perlahan
dan aku menatap ke depan. Memberikan senyuman kepada setiap orang yang berada
di devisi ini.
“Selamat pagi, perkenalkan nama saya Elina Najma. Mohon bantuannya”
kataku seraya menunduk sejenak
“Elina, silahkan menempati meja di sebelah kanan. Kamu akan dibimbing
oleh Bapak Heru” ujar bagian administrasi
Langsung saja aku melangkahkan kakiku menuju meja yang sebelumnya telah
ditunjuk. Pak Heru adalah orang yang ramah. Dia mengajariku tentang banyak hal.
Termasuk banyak hal terhitung ini adalah hari pertama aku magang. Pak Heru
mengajariku bagaimana cara fotocopy, meminta tanda tangan, dan membuat laporan
triwulan perusahaan. Dia tidak langsung memberiku tugas yang berat, “nanti
saja, toh kamu kan lama di sini. Kamu bisa belajar apapun nanti. Saya yang akan
bantu” itu katanya ketika mengajariku hal-hal yang masih mendasar.
Waktu istirahat aku habiskan di mejaku saja. Aku telah membuat bekal
untuk menghemat pengeluaranku. Orang tuaku sengaja memangkas uang bulananku
yang terbilang boros. Oh ayolah, wajar saja jika aku membeli segala kpop things ketika aku menjadi seorang kpopers bukan? Namun tidak bagi orang
tuaku, ketika mereka mengetahuinya, mereka marah dan langsung memangkas uang
bulananku. Hal ini tentu saja membuatku sedih, namun tetap tak menyurutkan
niatku untuk tetap membeli kpop things.
Suara langkah kaki terdengar di telingaku berbarengan dengan aku
melihat sepatu di depanku. Pandanganku mendongak dan menatap tanya kepada
laki-laki di depanku. Dia menatapku menilai. Membuatku jengah dan melanjutkan
makanku kembali. Ayolah, di mana sopan santun laki-laki ini? Merasa dia tak
juga beranjak, aku mendongakkan kepalaku lagi.
“Ada perlu apa?” tanyaku halus. Bagaimanapun aku tak boleh membuat
masalah di hari pertama aku magang bukan?
“Kamu anak magang kan?” tanyanya datar
“Ya. Ada perlu apa?”
“Sehabis istirahat, ditunggu Kepala Kantor di aula sebelah ruangan ini.
Jam satu siang”
“Oke. Terima kasih atas infonya” jawabku tersenyum
“Kalvano Waradana” ujarnya seraya menjulurkan tangan yang langsung
kujabat sambil tersenyum
“Elina Najma”
“Elina” ulangnya
“Kalva. May I?” tanyaku sembari menarik tanganku
“Panggil apapun yang kamu suka. Aku juga mahasiswa magang di sini”
jelasnya yang kubalas dengan senyuman sekali lagi.
Setelahnya, Kalva beranjak dari ruanganku. Menghembuskan nafas lelah.
Jujur, aku bukan orang yang mudah berbaur dengan orang lain, terlebih orang
baru. Jangan terkejut ketika kebanyakan mahasiswa di kelasku memilih magang bersama teman-temannya sedangkan aku
memilih untuk magang sendiri di kantor temannya Papa. Dan hari ini, tak
terhitung berapa kali aku menyunggingkan senyumku pada banyak orang. Termasuk
kepada Kalva yang benar-benar baru bagiku.
Pak Heru keluar dari bilik ruangannya dan melihatku melahap makanku.
Sembari tersenyum dia melangkah keluar dari ruangan devisi. Tergolong bos yang
ramah kepada para pegawainya. Aku menyukai sikap wibawanya. Terlihat bahwa di
devisi ini, kami semua adalah tim, tak ada yang merendahkan atau apapun. Mereka
semua baik kepadaku walaupun aku benar-benar baru di kantor ini. Rata-rata
pegawai di devisi ini adalah orang yang telah berumur, yang memiliki keluarga,
dan telah sibuk dengan masa depan anak-anaknya.
Makananku telah selesai dan para pegawai masih istirahat di luar
ruangan. Jujur, aku bosan jika tak ada kegiatan seperti ini. Membuatku mengeluarkan
ponselku dan membuka akun instagramku. Ya, hari ini telah ramai konfirmasi Song
Joong Ki dan Song Hye Kyeo akan menikah. Aku adalah salah satu penggemar
pasangan ini. Dan hal ini menambah semangatku dalam memulai hari. Isi
instagramku dari awal hingga akhir hanya berita mereka berdua, mau tak mau
membuatku tersenyum lagi.
“Boleh aku makan bareng kamu?” suara bariton itu membuatku menghentikan
kegiatanku menyelam dalam dunia instagram dan membuatku fokus pada sosok di
depanku yang tak lain adalah Kalva. Aku hanya mengangguk memberikan ijin. Kalva
menarik salah satu kursi dan mendekat ke arahku. Dia mengeluarkan nasi bungkus
dan minuman yang sepertinya baru dia beli di kantin.
“Kamu setiap hari akan membawa bekal?” tanyanya
“Ya, menghemat pengeluaran” kataku
“Anak ekonomi sekali” kekehnya yang aku balas dengan kekehan juga
Benar. Ciri-ciri anak ekonomi adalah efisiensi harga. Dan itu juga
berlaku denganku sejak aku mendalami perkuliahan jurusan manajemen ini.
Pengecualian dengan kegiatanku membeli barang-barang berbau kpop. Itu adalah
usahaku dalam mengumpulkan uang. Menyisihkan sebagian uangku untuk membelinya,
yang mana membuatku menghemat uang makanku dan membuatku terkena sakit mag.
Inilah alasan orang tuaku marah kepadaku.
“Penggemar Korea?” tanyanya. Sekali lagi aku hanya mengangguk.
“Aku tebak sekarang lagi rame masalah SongSong couple?”
“Do you know about that?”
tanyaku terkejut
“Perlu kamu tau bahwa semua cewek di devisiku membicarakannya” bisiknya
dengan tersenyum
Kalva menyuapkan nasi ke mulutnya sambil bercerita tentang keadaan
devisinya. Aku hanya mendengarkan. Jujur saja, dia orang yang sangat humble,
berbeda sekali denganku. Aku menatapnya takjub. Di saat semua orang selalu
menghujatku karena kecintaanku pada Korea, dia hanya bertanya dengan santai dan
tanpa menghakimi.
“Apa ada sesuatu di wajahku?” tanyanya
“Nggak. Aku Cuma heran kamu nggak komen apa-apa masalah Korea”
“Emang ada sesuatu yang harus aku komen?” tanyanya seraya mengerutkan
dahi. Aku hanya tersenyum dan menggeleng. Selanjutnya dia bercerita tentang
banyak hal. Tentang kampusnya yang ternyata adalah salah satu kampus favorit di
kota ini. Aku hanya mendengarkan. Jika kebanyakan orang makan sambil berbicara
maka makannya akan lama, hal ini tak berlaku bagi Kalva. Dia tetap bisa makan
dan bercerita tanpa harus memperlama waktu makannya.
“Kamu sepertinya perlu untuk bertemu mereka” aku hanya menatapnya
dengan tatapan bingung
“Anak magang lainnya. Mereka penyuka Korea juga sepertimu” lanjutnya.
Aku hanya mengangguk. Aku memang susah berkenalan dengan orang asing, itulah
sebabnya aku hanya sekedar saja berteman, tidak seperti kebanyakan mahasiswa
yang memiliki kelompok sendiri. Dia mengajakku untuk ke bawah dan berkenalan
dengan mahasiswa magang yang aku jawab dengan anggukan saja. Toh nanti juga
kami bakal dikumpulin kan? Pasti bakal saling kenal juga.
Selesai Kalva makan, jam tepat menunjukkan pukul 13.00 yang artinya
kami harus segera kumpul di aula kantor. Kami melangkah berdampingan dan
memasuki aula kantor. Keadaan masih sepi, jelas saja karena hanya kami yang
jaraknya paling dekat dengan aula. Menggerakkan mataku untuk berkeliling.
Desain dari aula ini sangat rapi. Dengan dekorasi berwarna coklat hangat.
“Elina?” suara cempreng itu mampu membuatku kegiatanku memindai ruangan
ini dan melihat padanya. Tubuhku seketika membeku. Membuatku tak mampu menjawab
maupun memberikan respon apapun. Siapapun tolong selamatkan aku dari dia. Dan
aku merasakan sentuhan di pundakku. Membuatku akhirnya mampu bernafas sejenak.
“Kamu praktek di sini juga?” tanyanya lagi setelah ucapan pertamanya
tak kuberi tanggapan. Aku hanya mengangguk. Dia tersenyum canggung. Dan aku
tetap mempertahankan ekspresi datarku. Dari sekian banyak perusahaan di kota
ini. Kenapa aku harus bertemu dengan gadis ini di sini? Mengedarkan pandangku
ke sekitar dengan takut. Aku hanya berharap siapapun dia yang saat ini muncul
di pikiranku tak ada di sini.
“Reno nggak praktek di sini, seandainya kalo yang kamu cari dia”
sahutnya lagi. Perlahan aku menghembuskan nafas lega. Gadis ini masih berdiri
di samping mejaku. Menatapku dengan tatapan yang entahlah aku tak bisa
menggambarkannya. Aku mengalihkan pandangku ke depan. Dalam pikiranku, telah
terkumpul seribu satu umpatan untuknya yang menyuruh dia untuk beranjak dari
hadapanku, namun aku menahan. Itu sudah
masa lalu batinku.
Gadis ini berlalu dari hadapanku dan memilih untuk menempati meja di
belakang. Membuatku benar-benar bisa menghembuskan nafas lega. Merasakan
seseorang masih merangkul pundakku. Membuatku menatap Kalva dengan pandangan
lelah. Kalva menekankan tangannya di pundakku sebelum akhirnya melepasnya.
Membuatku mengukir senyum. Jujur, aku masih belum sanggup mengeluarkan suara
sejak pertemuan mendadak ini. Terima
kasih, Kal batinku. Seolah mengerti arti senyumku, Kalva mengangguk.
Bersyukur karena tak lama Kepala Kantor muncul bersama dengan pak Heru.
Dan aku baru tau bahwa pak Heru memegang jabatan yang lumayan berpengaruh di
sini. Yang kutahu hanya pak Heru adalah teman dari Papa, namun aku bersyukur
bahwa aku tak diperlakukan spesial dan diperlakukan sama selayaknya karyawan
yang bekerja.
Bapak Yusuf yang tidak lain adalah Kepala Kantor menyambut para peserta
magang dengan hangat. Sepertinya bayangan karyawan yang saling iri tak
berlangsung di sini, mungkin ada, namun aku tak tau. Yang aku tau adalah aku
bertemu banyak orang baik di kantor ini. Pengecualian gadis yang mengajakku
berbicara tadi. Bapak Yusuf mengatakan untuk kami tidak sungkan bertanya kepada
karyawan senior yang ada di masing-masing devisi, hal ini dimaksudkan agar kami
mudah dalam menyusun laporan yang hendak kami tulis sebagai tugas kampus serta
permintaan dari perusahaan.
♡
Satu bulan sudah aku magang di devisi umum. Dan aku beruntung tidak
harus diputar di devisi bawah. Percayalah, aku sampai harus memohon kepada pak
Heru untuk memutarku nantinya hanya di bagian atas. Pak Heru adalah orang yang
memegang jadwal penempatan mahasiswa magang, aku hanya menjelaskan intinya saja
aku tak ingin berada di satu lantai dengan gadis itu. Pak Heru mengerti dan dia
berusaha sebisa mungkin memutarku di devisi atas saja. Percayalah, aku nyaman
berada di lantai atas ini. Bahkan, aku sudah kenal dengan semua devisi di
lantai atas ini. Di lantai atas terdapat tiga devisi, yakni devisi umum, devisi
SDM, dan devisi pemasaran. Beruntung bidang yang kupilih sebagai konsentrasiku
adalah pemasaran, jadi pak Heru mengiyakan permintaanku.
Bulan ini, aku akan diletakkan di devisi pemasaran dengan satu orang
lagi mahasiswa magang yang berasal dari bawah. Aku tak peduli siapapun itu,
yang jelas bukan gadis itu. Sejak hari itu, aku menghilangkan keinginan untuk
mengakrabkan diri dengan mahasiswa magang yang berada di lantai bawah. Oh, aku
tak akan peduli jika mereka menganggapku gadis yang sombong. Aku terlalu sering
mendengar sebutan itu. Jadi, tak berpengaruh besar terhadapku.
Kali ini, aku akan dimentori oleh pak Ridwan. Pak Ridwan umurnya
terpaut sepuluh tahun denganku, dan telah memiliki satu orang anak yang sering
dia ajak ke kantor. Kaila adalah nama anak pak Ridwan yang selalu bermain
denganku ketika aku sedang tak sibuk.
Ketukan pintu membuatku menghentikan kegiatanku menjelajah dunia
instagram dan melihat siapa yang memasuki ruangan ini. Betapa terkejutnya aku
bahwa yang akan menemaniku di devisi ini adalah Kalva. Memasang senyum
terlebarku ketika melihatnya melangkah ke dalam ruangan. Kalva juga sama tak
menyembunyikan sikap senangnya yang langsung menaruh tasnya di kursi sampingku
dan menatapku dengan pandangan excited yang
berlebihan.
“Kamu di devisi ini?” tanyaku yang masih tak percaya dan dia mengangguk
seraya memainkan alisnya. Tanda bahwa dia senang. Secara reflek, aku langsung
memeluknya dari samping karena senang. Kalva adalah temanku satu-satunya di
sini kecuali para pegawai tetap. Dan terhitung sejak dua minggu aku
mengenalnya, aku sudah nyaman dan mulai menceritakan hidupku padanya. Aku
bersyukur bahwa dia tak bosan akan ceritaku terhadap oppa oppa ganteng dari Korea. Dia selalu naik ke atas untuk
menemaniku makan dan menghabiskan waktu istirahat bersama.
Pintu ruangan terbuka dan pak Ridwan masuk bersama Kaila
digenggamannya. Melihatku, Kaila langsung berlari dan mendekapku erat. Membuatku
tertawa karenanya. Di keluargaku dari pihak Mama, hanya aku dan Kakakku saja
yang masih belum menikah. Semua sepupuku telah menikah dan memiliki anak. Hal
ini membuatku memang dekat dengan anak kecil. Dan aku memang cinta terhadap
anak kecil. Kaila duduk di pangkuanku dan langsung menceritakan kepadaku tentang
film kartun yang baru dia tonton. Aku menatap pak Ridwan dan dia menatapku
dengan pandangan minta maaf. Membuatku tersenyum dan menggelengkan kepala. Aku
menyukai Kaila, jadi ini tak masalah sama sekali.
“Dia tadi bangun waktu saya mau berangkat. Dan kalian sudah bisa
menebak apa yang terjadi selanjutnya. Sepertinya, tugas kamu hari ini hanya
menemani Kaila, Lin. I’m so sorry”
ucap pak Ridwan
“Tenang, Pak. Saya di sini sampai satu bulan ke depan. Saya bisa
membantu bapak selagi menemani Kaila. Seperti biasanya” ujarku
“Elina kan teman seperjuangnya Kaila, Pak” sahut Bu Melisa yang dijawab
ketawa oleh seluruh orang di devisi ini. Kaila memainkan jari Kalva. Menandakan
bahwa Kaila penasaran dengan lelaki di sebelahku ini. Menyenggol Kalva dan
memberi kode bahwa dia harus memperkenalkan diri kepada orang-orang di devisi
pemasaran.
“Selamat pagi semua. Saya Kalvano Waradana. Mohon bantuannya” ujarnya
seraya menunduk
“Ah, jadi kamu yang namanya Kalvano? Elina sudah sering menceritakanmu
pada kami” sahut bu Laura
Kalva menatapku dengan pandangan penasaran yang aku jawab dengan mengedikkan
bahuku. Kalva terus menatapku dan itu membuatku jengah. Menarik nafas panjang
dan hendak mengatakan apa maksud ucapan bu Laura ketika pak Ridwan telah lebih
dulu menjelaskan bahwa mereka penasaran apakah aku tak mempunyai teman dan yang
kujawab bahwa aku memiliki satu teman yakni Kalvano.
Bagian devisi pemasaran hanya di isi oleh lima orang saja, yakni pak
Ridwan ketua devisi, bu Melisa, bu Laura, pak Keenan, dan pak Ryan yang saat
ini tengah cuti. Devisi pemasaran masih tergolong devisi “muda” dibandingkan di
devisi umum. Ketika aku pernah bertanya kepada pak Heru, beliau menjawab bahwa
untuk membidik pasar di masyarakat dibutuhkan jiwa-jiwa muda yang memang lebih
mengerti tentang cepatnya perkembangan teknologi saat ini.
Kalva membantu pekerjaan pak Keenan dan meminta penjelasan tentang
beberapa hal. Musim ini mereka tengah dibuat pusing tentang strategi pasar yang
semakin hari semakin berubah seiring cepatnya perkembangan teknologi dan media
sosial yang anak kecil saja sekarang sudah pandai menggunakannya.
Kaila memainkan iPad yang kebetulan sedang kubawa. Lihat kan? Anak yang
masih berumur tiga tahun saja sudah pandai dalam memakai alat komunikasi ini.
Aku membukakan Youtube dan memutarkan
kartun favoritnya yakni Dora the
Explorer. Satu yang kusuka dari Kaila adalah dia tak pernah rewel yang
aneh-aneh, ketika dirasa bahwa aku berada di sampingnya, maka dia akan diam. Hal ini memudahkanku dalam membantu pak Ridwan dalam mendata penjualan di
daerah mana saja yang memiliki angka paling tinggi dan menganalisis penyebab
daerah lain mengapa tidak bisa menyamakan daerah tersebut.
Bu Laura membimbingku dalam mengolah datanya. Pak Ridwan tidak dapat
membantuku dan meminta tolong kepada bu Laura untuk menjelaskan kepadaku. Pak
Ridwan harus mengikuti rapat dengan semua ketua devisi dan dia menitipkan Kaila
kepadaku. Untungnya, Kaila sedang fokus pada filmnya, jadi dia tak terlalu menyadari
bahwa ayahnya telah keluar dari ruangan. Beruntung juga bahwa di kantor ini
menyediakan wi-fi gratis untuk semua
karyawan sehingga tak memakan banyak kuotaku.
Kalva kembali ke meja di sebelahku dan bermain dengan Kaila. Membuat
Kaila meminta untuk dipangku olehnya dan menonton di pangkuan Kalva. Aku
tersenyum pada Kalva, berterima kasih bahwa ternyata dia juga mau membantu pak
Ridwan dalam menjaga Kaila.
Hari ini adalah hari tercepatku di kantor ini. Entahlah, di devisi ini
aku merasa benar-benar bekerja. Ditambah aku harus menjaga Kaila bersama Kalva.
Cepat dan tak terasa bahwa aku adalah mahasiswa magang. Aku merasa bahwa aku
benar-benar pegawai di kantor ini. Aku dan Kalva berjalan bersama untuk menuju
parkiran mobil. Percayalah, Papaku melarangku untuk mengendarai sepeda motor
meskipun aku telah memaksa ratusan kali.
Mendadak langkah terhenti. Darahku seakan tersedot dari jalurnya. Aku
terdiam dan tak mmampu melangkahkan kakiku. Bahkan untuk berkedippun rasanya
berat. Kalva berhenti dan menatapku khawatir. Aku tak mampu mengalihkan
pandangku dari pemandangan di depanku. Dia, cinta pertamaku. Reno Syahputra
sedang tersenyum dan menggenggam tangan gadis itu erat. Rasanya aku tak sanggup
lagi menopang badanku jika tak ada Kalva yang merangkul pundakku erat. Dia
memandangku dengan pandangan khawatirnya.
Mereka berdua menatapku dengan pandangan yang aku tak mau mengartikan
apa itu. Reno menatapku lama lalu melangkah sejengkal ke arahku. Membuatku
merapatkan diri ke Kalva dan menggenggam tangannya yang berada di pundakku. Bawa aku pergi dari sini, Kal. Bawa aku lari
dari dua manusia di depanku jujur aku ingin meneriakkan hal tersebut, namun
semua fungsi pancainderaku mendadak hilang. Membuatku hanya mematung. Sampai
akhirnya aku merasakan Kalva menyeretku ke luar gedung. Dengan perlahan dia
membimbingku untuk melewati dua manusia tersebut. Aku baru bernafas lega ketika
dia membawaku ke parkiran khusus pegawai yang terletak di belakang gedung.
Sebenarnya, kami lewat depan gedung karena Kalva ini menanyakan sesuatu
pada bagian informasi namun semua berantakan karena dua manusia itu. Aku tak
mampu berjalan sendiri sehingga Kalva menuntunku hingga ke mobilnya. Aku hendak
mengajukan protes namun aku tak mampu mengutarakan maksudku.
Kalva menatapku khawatir. Dia pindah menghadapku dengan kedua tangannya
di pundakku. Membuatku menatap matanya yang berwarna hitam legam. Kalva
memelukku erat. Membuatku tak mampu menahan air mata yang memang sudah
menggenang dari awal aku bertemu dua manusia itu. Tangisanku mengeras seiring tepukan
lembutnya di bahuku. Mendengar tangisku, Kalva semakin mengeratkan pelukannya.
Harusnya, aku mendorongnya menjauh. Maksudku kami tak sedekat itu untuk saling
berpelukan seperti ini. Aku tak bisa percaya lagi ke semua orang sejak kejadian
beberapa tahun lalu. Tapi, anehnya aku merasa nyaman. Seolah dalam pelukannya
aku baik-baik saja. Seolah dalam pelukannya aku merasa aman. Dan seolah dalam
pelukannya aku tak perlu mengkhawatirkan tentang apapun.
Kalva melepaskan pelukannya dan menghapus air mataku. Aku menunduk
diam. Aku masih tak menyangka bahwa kesempatan aku bertemu lagi dengan Reno
adalah saat ini, dan harus bersama gadis itu. Kalva mendongakkan kepalaku.
Membuatku menatap ke dalam mata hitam legamnya yang menatapku khawatir.
“Kamu nggak sendiri. Kamu bisa andelin aku buat cerita. Jangan nyimpen
semua sendiri kayak gini, Na”
Kalva membimbingku untuk masuk ke dalam mobilnya. Aku hendak melawan,
namun dia mendorongku untuk duduk di kursi penumpang. Setelahnya, aku melihat
Kalva sedang menelpon seseorang sebelum masuk ke dalam kursi pengemudi.
Sialnya, air mataku masih saja menetes. Sehingga aku tak mampu mengucapkan kata
yang ingin kuucapkan.
Kalva mengemudikan mobil ke luar gedung perusahaan. Dia mengemudi
dengan pelan. Pandangannya terbagi antara menatap jalanan di depan dan menatap
ke arahku. Mengalihkan pandanganku ke jendela. Terserah Kalva akan membawaku ke
manapun. Aku akan diam dan mengikuti mau dia apa. Karena aku juga dalam keadaan
yang tidak ingin sendiri. Aku membutuhkan seseorang untuk menemaniku. Dulu,
ketika aku merasa hal seperti ini, aku memilih untuk pulang ke rumah dan
bertemu Kakakku.
Kalva menghentikan mobilnya di salah satu restoran makanan cepat saji
kesukaanku yakni KFC. Dia melepaskan seatbelt
dan keluar mobil, lalu membukakan pintu di sampingku. Jujur, aku terkejut
akan sikapnya ini. Aku baru saja akan membuka pintu namun dia terlebih dahulu
melakukannya. Kalva menggenggam tanganku dan kami memasuki restoran ini. Mungkin
karena bukan malam minggu jadi restoran ini tak terlalu ramai. Kalva
mendudukkanku di salah satu kursi dan dia beranjak untuk memesan makanan. Perilakunya
membuatku mengukirkan senyum.
Kalva adalah orang yang selalu menemaniku tanpa bertanya apapun jika
dia rasa aku tak ingin membahasnya. Seperti ini. Dia takkan membahas jika aku
tak membahasnya terlebih dahulu. Bahkan, sejak kejadian sebulan yang lalu, dia
tak bertanya padaku mengapa aku mengabaikan gadis itu, dia berperilaku seolah
tak ada yang mengganjal dan seperti biasa saja. Aku juga salut dia tak
memaksaku untuk dekat dengan mahasiswa magang di lantai bawah. Aku tau pasti
bahwa dia sangat ingin menanyakannya, namun karena aku yang seolah tak ingin membahas
maka dia diam.
Kalva selalu naik ke atas seusai menjalankan sholat Dhuhur. Dia
menungguku di depan Mushollah dan kami akan naik ke atas untuk makan siang
bersama. Oh, tambahan lagi, aku yang membawakannya bekal makan siang, karena
dia berkata bahwa makanan di kantin perusahaan tak ada rasanya. Dia memberiku
uang untuk membeli bahan masakan yang selalu aku tolak, jadinya dia selalu
menemaniku belanja di supermarket dan
membayar semua tagihannya. Dia selalu beralasan bahwa tak enak jika dia tak
membayar karena dia tau aku sedang dalam rangka hemat untuk menabung nonton
konser. Padahal jika hanya menambah satu orang saja, jujur duitku masih
mencukupi. Tapi Kalva tetaplah Kalva yang keras kepala, mau tak mau akupun
menuruti keinginannya.
“Nih, makan dulu. Kamu jelek kalo kurus” ujarnya. See? Dia menganggap bahwa tak ada sesuatu penting yang telah
terjadi. Mengambil piring yang memang ditujukan untukku dan mulai memakannya.
Aku telah cuci tangan jika kalian ingin tau. Setelahnya aku makan dan
memandangnya yang melahap makanan dengan nikmat. Kalva selalu tau bagaimana
cara menikmati makanan.
“Kamu nggak mau tanya apapun, Kal?”
“Nanti, setelah makan. Kamu harus habisin dulu itu makanan. Seriusan
jelek kalo kamu berniat lebih kurus lagi” ucapnya setelah menghela nafas
panjang dan menatapku. Akupun terdiam dan makan dengan tenang. Pikiranku kacau.
Itu sudah tak diragukan lagi.
“Makan dulu, Na” ujar Kalva seraya menggenggam tanganku. Membuatku
tersenyum samar dan mengangguk. Kembali aku memaksakan makanan masuk ke dalam
tubuhku. Benar kata Kalva bahwa aku memang terlihat jelek jika lebih kurus dari
ini. Dan aku juga tak mau menambah beban siapapun ketika penyakit magku mulai
kumat. Untuk itu, mau tidak mau aku harus memaksakan diri untuk makan.
Kalva dengan sabar menungguku makan. Setelah selesai aku menghabiskan
makananku, Kalva hanya diam. Aku tau dia menyimpan banyak pertanyaan. Dan aki
tau dia hanya ingin mendengarkan tanpa bertanya, seperti yang biasa dia
lakukan. Menarik nafas perlahan. Merangkai cerita untuk aku bicarakan padanya.
“Jadi, cowok tadi adalah mantanku. Pacar pertama sekaligus cinta
pertamaku” ujarku memulai cerita
“Dan cewek itu adalah selingkuhannya. Sahabatku yang selalu aku
ceritakan tentang Reno dan nggak taunya malah jatuh cinta sendiri ke Reno.
Setelah aku mutusin Reno, aku kabur, Kal. Aku nangis ke Papa minta pindah rumah
dan pindah sekolah. Childish, rite?
Tapi aku nggak tau gimana caranya buat menjauh dari mereka selain ini.
Untungnya, Papa memang dipindah tugaskan di Surabaya, jadi mau nggak mau semua
pindah dari Bandung ke Surabaya. Sejak itu, i
don’t want to trust anyone again, Kal. Setelahnya, aku milih buat kuliah di
Malang, kota yang selalu aku impikan. Aku juga nentuin magang di sini dibanding
perusahaan Papa. Dan dari sekian banyak kota dan perusahaan, aku nggak tau
kenapa mereka muncul di hadapanku sekarang. Di kota ini. Dan di perusahaan itu”
Kalva menatapku khawatir. Aku bercerita sambil menangis. Demi apapun
aku tak dapat menahan air mataku untuk berhenti menetes. Mendadak semua kenangan
itu memasuki pikiranku kembali. Seperti dvd rusak yang dipaksa untuk tetap
berfungsi. Oh ayolah, enyah dari pikiranku. Aku telah berhasil tak memikirkan
masalah ini selama lima tahun. Seharusnya aku sudah lebih bisa mengabaikannya,
bukan? Sial, kenapa rasanya harus sesakit ini?
“Everything’s fine, Na. Kamu
bebas nangisin dia hari ini, tapi besok, kamu kudu kuat dari hari ini”
“I want to trust someone again, Kal.
I want to trust you. I want to have a
friends again. I want to have someone to talk to, Kal. Tapi aku nggak tau
kenapa rasanya sesusah ini. Ini adalah pertama kali setelah lima tahun aku
ngobrol banyak hal ke orang lain selain Kakakku, Kal. Jujur, aku takut dengan
banyaknya kemungkinan kamu bakal pergi ke mereka. Makanya, aku nggak mau sepercaya
itu ke kamu. Dan karena sudah melakukan hal itu tapi kamu masih sebegini
baiknya ke aku, aku ngerasa jadi cewek paling jahat, Kal”
“Listen to me, Na. I can’t promise something. Cause like you
know that everything’s always change, rite? Tapi, selama kamu butuh aku,
kamu tau di mana aku. Aku nggak akan ngamuk kalo kamu telpon aku tengah malem
buat dengerin kamu curhat. Aku bakalan nonjok cowok itu kalo kita ketemu lagi
sama dia. Aku yang bakalan bales semua sakit hatimu, Na. Aku nggak masalah kalo
harus nemenin kamu nonton dramamu itu. You
can count on me, Na” jelas Kalva sambil menggenggam tanganku.
♡
Setelah kejadian itu, Kalva benar-benar membuktikan ucapannya. Dia
selalu menemaniku kemanapun aku akan pergi. Entah hanya sekedar ini jalan-jalan,
atau kami menonton drama Korea di kontrakannya bersama Adik perempuannya. Kalva
bahkan tak pernah memprotes kegiatanku itu. Dia hanya mendengarkan dengan baik.
Seperti kemarin aku mendengarkannya lagu milik GDragon, dia tak protes dan
berkata bahwa lagunya menarik. Dia bahkan salut pada pembuat drama Circle karena mampu melakukan editing yang keren.
Saat ini kami sedang berada di kantor dan sedang jam istirahat. Selesai
sholat, kami kembali ke ruangan dan aku mengeluarkan bekal makan yang telah aku
siapkan. Kami sedang asik makan dan bercerita tentang drama yang kami tonton
saat seseorang masuk ke dalam ruangan kami. Melihat siapa yang datang membuatku
meletakkan sendok yang akan kusuap dan menatapnya jengah. Gadis itu datang ke
arahku. Kalva tersenyum kepadanya. Dan itu membuatku muak.
“Ada perlu apa?” tanya Kalva ramah. Dia masih terdiam dan menatapku
memohon. Aku hanya menatapnya datar dan kalo bisa aku ingin dia pergi dari
hadapanku sekarang.
“Aku minta maaf, El. Aku tau ini terlalu lama buat minta maaf. Tapi...”
“Pergi” potongku
“Lanjutin ucapanmu. Aku tunggu kalian di luar” kata Kalva ramah. Dia
menepuk pundakku dan keluar dari ruangan. Oke, untuk pertama kalinya aku
membencinya. Aku merasa bahwa Kalva memihak pada gadis ini. Dan itu membuatku
muak. Menatap gadis ini dengan tatapan tak sukaku. Oh tenang, aku tak perlu berpura-pura
untuk terlihat baik di depannya. Bagiku, dia tak pantas mendapatkannya. Kalian
bilang aku kejam? Kalian harus tau apa yang dia lakukan padaku. Dia telah
merebut seseorang yang aku cintai.
“El, kamu perlu tau bahwa saat itu Reno mabuk. Itu nggak seperti yang
kamu bayangkan”
“Lo mending pergi dari sini. Nggak perlu sok manis di depan gue. Gue
muak ngeliat muka lo”
“Sorry, kelamaan di Malang
bikin gue ngikut bahasanya yang halus. Tapi gue mohon lo dengerin omongan gue,
El”
“Dia sendiri yang ngomong kalo dia cinta sama lo. Dia pacaran sama gue
gara-gara pengen deket sama lo. Darimananya yang gue salah paham? Hah?
Ditambah, bukannya ngelak, lo malah meluk dia dan bilang lo cinta dia juga. Can’t you just stop this fucking drama, huh?”
“El, dia mabuk. Itu salah satu cara gue biar dia mau pulang.
Setelahnya, gue nggak mau ketemu sama dia lagi, karena gue pikir gue jahat kalo
masih ada di sekitar kalian. Tapi, rencana gue belum terlaksana dan gue lihat
lo di depan rumah gue dan langsung mutusin dia gitu aja”
“Terus? Gue peduli? Toh kalian udah bersatu juga sekarang kan? Semoga
langgeng!” ucapku seraya melangkah keluar. Aku nggak butuh penjelasan apapun
untuk masalah ini. Demi Tuhan, ini sudah berjalan lima tahun. Dan aku tak
membutuhkannya sama sekali. Bagiku, mereka semua sama saja. Melangkahkan kaki
keluar dengan emosi yang tak dapat aku tutupi, sepertinya aku harus menuju
kantin untuk membeli minuman dingin atau softdrink
untuk menenangkanku.
Terlihat Kalva di ujung tangga. Memutar mataku jengah. Aku berjalan
melewatinya begitu saja. Dengan langkah panjang, aku menuruni tangga. Terdengar
langkah seseorang di belakangku. Membuatku mempercepat langkahku. Namun
sialnya, langkahku terhenti dan Kalva berada di hadapanku. Menyentakkan
tangannya dan berjalan cepat menuju kantin. Terdengar helaan nafas di
belakangku. Aku tau Kalva masih mengikutiku. Dan aku membiarkannya. Aku nggak
peduli karena aku sedang marah padanya.
Memasuki area kantin dan aku mengambil satu kaleng Fanta. Membayarnya
lalu aku berlalu dari kantin. Untungnya, hari ini semua pegawai sedang rapat bulanan.
Membuatku melangkahkan kakiku ke taman seberang kantor. Mendudukkan diriku dan
memejamkan mata sejenak. Aku lelah. Aku lelah selalu menghindar sejujurnya,
namun aku tak sanggup melihat wajah mereka juga. Rasa terkhianati ini masih
ada. Terlalu banyak hingga membuatku tak percaya pada semua orang asing.
Bayangan Kalva melintas dipikiranku. Kecewa? Jangan tanyakan. Aku kecewa
padanya. Aku tau niatnya baik, namun aku benar-benar tak bisa untuk melihat
muka gadis itu.
Membuka mataku dan mataku langsung bersirobok dengan mata hitam kelam
milik Kalva. Dia berlutut di depanku dan menatapku dengan pandangan bersalah.
Memutar mataku jengah. Aku hendak bangun dari dudukku namun dia menahanku. Aku
menatapnya dengan pandangan nanar. Aku kecewa. Aku ingin meluapkan seribu
makian di depan mukanya, namun aku tak bisa.
“Maki aku” ucapnya sambil memegang pundakku
“Maki aku. Keluarin semua yang pengen kamu omongin ke aku. Keluarin
semua yang pengen kamu omongin ke mereka” Menggelengkan kepalaku cepat. Aku tak
mungkin memaki mereka di depan muka Kalva, karena Kalva bukan mereka. Tanpa
sadar, air mataku mengalir menuruni pipiku. Membuat pandanganku mengabur.
“Aku yang salah, Kal. Aku yang ngerebut Reno dari dia. Aku yang egois
maksain cintaku ke Reno. Coba aja kalo aku nggak egois, dari dulu mereka suda
bahagia. Aku yang salah, Kal. Aku yang salah. Bukan mereka” racauku yang dia
balas dengan membelai rambutku pelan.
“Aku harusnya nggak tutup mata waktu aku nggak sengaja baca buku harian
cewek itu, harusnya aku ngejauhin Reno. Tapi, aku milih buat tutup mata, Kal.
Aku milih buat milikin Reno untuk bahagiaku sendiri. Aku yang jahat, Kal”
“Aku nyalahin cewek itu untuk nutupin rasa bersalahku, Kal. Aku hanya
butuh itu untuk menghilangkan rasa bersalahku, Kal. Tapi, tetep aja aku nggak
bisa ngeliat muka mereka, Kal. Rasa bersalahku terlalu besar. Aku nggak bisa
ngeliat muka cewek itu tanpa merasa bersalah, Kal”
Kalva menenangkanku. Dia mendengarkan dengan seksama. Aku tak tau sudah
berapa kali aku menangis di pelukan Kalva dan selalu merusak kemejanya dengan
banyaknya air mataku. Ini Cuma kemeja, Na.
Bukan sesuatu yang penting begitu katanya ketika aku berkata maaf karena
merusak kemejanya dengan air mataku.
“Kamu nggak salah, Na. Nggak ada yang salah dari jatuh cinta”
“Waktu itu, aku ingin menjauh Reno, Kal. Tapi, semua hancur dan egoisku
yang mendominasi ketika dia berkata bahwa dia mencintaiku, Kal”
Kalva menenangkanku sekali lagi. Pelukannya semakin erat hingga aku
dapat mendengar detak jantungnya yang bergemuruh. Aku tau ada emosi di dalam
dadanya. Aku masih meracau di pelukannya. Meracau tentang apapun itu. Tentang
pertemuanku dengan Reno, tentang perjalanan cintaku dengan Reno, tentang betapa
romantisnya Reno, tentang betapa bersalahku pada gadis itu. Maaf, aku tak
sanggup menyebut namanya, karena aku merasa bersalah dan tersakiti pada waktu yang
bersamaan.
“Harusnya itu yang kamu katakan ke dia. Itu alasanku membiarkanmu
bertemu dengannya tadi”
Aku menggelengkan kepalaku keras. Aku nggak mau. Biarkan semuanya
menjadi rahasia masing-masing pihak. Egoiskah aku? Aku rasa iya. Karena di sini
aku yang salah. Aku yang merebut Reno dari sisinya. Tidak, lebih tepatnya Reno
yang tak berani mendekatinya dan memacariku. Melepaskan pelukanku dari Kalva.
“Boleh aku pinjem hapemu?” tanyaku. Dia menatapku bingung namun
memberikan ponselnya padaku. Mencari nama cewek itu di daftar kontak Kalva,
setelahnya aku mengetik beberapa kalimat yang tak sanggup aku ungkapkan secara
langsung. Biarlah, pengecut memang nama tengahku dari dulu. Setelah selesai,
aku mengirimkan pesan itu.
“Maaf, di awal kemarin aku cerita yang nggak sesuai kenyataan. Aku
hanya...aku...” dia kembali memelukku dan membelai rambutku pelan
“Nggapapa, Na. Paling nggak sekarang kamu udah jujur akan semuanya”
“Kamu pasti nggak mau jadi temenku lagi kan, Kal? Kamu pasti kecewa
sama aku”
“Nggak. Siapa bilang aku nggak mau jadi temen kamu lagi? Setiap manusia
itu punya salah dan punya rahasia, Na. Ketika kamu menutupi itu dengan
berbohong, mungkin itu salah satu pertahanan dirimu. Semua akan baik-baik aja,
Na” ucapnya
Merasakan getaran di tanganku. Membuatku melepaskan pelukan Kalva dan
melihat pesan yang masuk di ponselnya. Dari cewek itu ternyata. Aku tersenyum
ketika membacanya. Dia tak pernah berubah. Bagiku, biarlah hubunganku dan dia
seperti ini. Aku masih merasa bersalah. Dan biarkan kami menjalani hidup kami
sendiri-sendiri. Yang jelas permasalahan ini selesai. Dan rasa bersalah ini
masih ada sampai kapanpun.
Gue nggak pernah nyalahin lo
yang pacaran sama Reno. Salah gue juga kenapa gue nggak cerita ke lo tentang perasaan
gue ke Reno. Bukan salah lo kalo o egois dan pengen bahagia sama Reno. Stop blaming yourself, El. Lo
berhak buat bahagia. Tanpa lo minta maaf, gue udah maafin lo lama. Mungkin ini
juga hukuman gue waktu itu, gue milih nerima cowok lain pas tau Reno nembak lo.
Kita semua salah. Tapi, kalo lo memang nggak bisa deket sama gue kek dulu,
nggak masalah. Yang penting bagi gue adalag masalah kita selesai dan nggak ada
dendam apapun di antara kita.
Kalva membaca pesan yang dikirim itu dan dia tersenyum juga. Dia
mengacak rambutku dan memelukku erat sekali lagi. Aku tertawa di pelukannya.
Sudahkah aku bilang bahwa pelukan Kalva adalah pelukan ke-tiga favoritku
setelah kedua orang tuaku? Jika belum, maka barusan aku memberitahukannya.
Setelah lima tahun tanpa rasa percaya ke orang lain. Aku mulai memercayai
lelaki yang memelukku ini. Dia yang selalu berusaha untuk menepati segala
omongannya. Dia yang selalu mengalah ketika aku ingin menonton drama
dibandingkan keluar piknik. Dia yang selalu mengajariku segala hal dengan
caranya yang santai.
“Mau jalan-jalan sehabis ngantor?” ajaknya yang aku jawab dengan
anggukan. Jantungku langsung berdetak menggila. Sial, aku tau tanda-tanda apa
ini. Melihatnya tersenyum membuat hatiku tentram. Aku takut untuk jatuh cinta
kembali, tapi hati akan melakukan apapun yang dia inginkan, bukan? Dan aku sama
sekali tak bisa menolak itu.
Sejak kejadian aku menangis seminggu yang lalu itu, Kalva memutuskan
untuk mengantar jemputku. Takut kamu
tiba-tiba khilaf lagi kek kemarin itu katanya ketika aku menemukannya di
depan kosku sedang menungguku. Aku merasa bahwa Kalva benar-benar orang yang
baik. Dia tidak marah ketika aku mengatakan bahwa aku tak bisa percaya
siapapun. Percayalah, penyebab utamanya adalah sang cinta pertamaku. Kalva
masih tetap berada di sisiku. Tanpa harus dia selalu bertanya kenapa, tapi
selalu mendengarkan ketika dibutuhkan.
Setelahnya, kami
kembali masuk ke dalam kantor dan langsung menuju ruangan kami. Jam istirahat
masih tersisa satu jam lagi, dan aku terkejut ketika melihat gadis itu masih
saja di dalam ruanganku. Melihatku dan Kalva yang berada di ambang pintu
membuatnya tersenyum, aku mengerti bahwa dia habis menangis, sama sepertiku. Gadis
itu mendekat. Membuatku reflek memundurkan diriku, namun Kalva menahan
pundakku. Menatap ke dalam mata legamnya, Kalva membelai pundakku singkat lalu
mendorongku masuk sedangkan dia keluar. Aku tau dari matanya bahwa itu sebuah
perintah. Menghela nafas lelah, aku memasuki ruangan.
“Gue kaget lo chat gue kek gitu, tapi gimanapun juga,
lebih enak ketemu langsung gini, kan?”
“Gue—Gue minta maaf. Gue yang
salah, tau kalo lo suka Reno tapi masih aja deketin dia. Waktu lo jadian Aga
pikir gue lo udah move on dari Reno. Gue
sebodoh itu buat nggak ngerti kalo lo ngelakuin itu semua demi gue. Gue terlalu
egois akan perasaan gue sendiri. Lo mau maafin gue?”
“El, let’s just forget about the past. Can’t we just be friend again?” tanyanya
Jujur, aku masih merasa
sebersalah itu untuk mengiyakan keinginannya, sampai aku merasa seseorang
merangkulku dan dia. Menoleh kearah tersangkanya yang tidak lain adalah Kalva. Sialnya,
Kalva langsung mengiyakan permintaan dari gadis ini seraya melebarkan
senyumnya. Oh demi apapun, terkadang aku bingung pada diriku sendiri mengapa
aku bisa diam saja hanya karena melihat senyuman darinya. Menghela nafas
panjang dan mengangguk, membuat dua orang itu tertawa bahagia. Bahkan, Kalva
memperkenalkan diri kembali, membuatku memutar mataku jengah.
Paling tidak, hanya ini yang
mampu aku berikan kepada gadis itu. Aku tak mampu mengulang masa lalu untuk
menghapuskan kenangan buruk dari kami, namun paling tidak masa depan kami tak
akan terganggu kembali hanya karena luka di masa lalu. Walaupun luka ini masih
menganga dan basah karena aku yang memilih kabur dibanding menyelesaikan, namun
luka ini paling tidak sudah terobati sedikit karena dendam dan rasa bersalah
itu sekarang hilang. Karena maaf dan memaafkan itu memang sebegitu pentingnya
untuk ketentraman hati.
♡
Kami memasuki pusat perbelanjaan yang tak pernah sepi. Setelah
mendapatkan parkir, kami melangkah masuk dan langsung menuju arena Timezone. Kalva bilang bahwa kami
membutuhkan penyegaran seperti ini untuk menjernihkan pikiran kita karena tugas
kantor. Kami langsung menuju arena permainan basket. Kalva pernah menyinggung
bahwa dia pemain basket di kampusnya, dan aku
dapat melihat binar di matanya ketika dia menatap bola oranye itu. Kalva
tidak sekejam itu untuk membuatku bertaruh, kami hanya bermain untuk
bersenang-senang. Melihat Kalva dari samping membuatku tersenyum karena binar
bahagia yang terpancar dari matanya.
“Pemain basket mah beda, yekan” godaku padanya. Ini adalah sisi lainku
yang dulu, sebelum badai memporakporandakan jati diriku. Dan aku ingin hanya
Kalva yang melihat sisiku yang ini. Bukan orang lain.
“Jelas dong. Besok kalo aku tanding, kamu wajib dateng yaaa. Aku jemput
kalo perlu” ujarnya dan aku mengangguk antusias. Aku juga ingin melihatnya
bertanding di lapangan, bukan hanya dari permainan timezone.
Kami melanjutkan permainan dengan balap mobil. Aku dapat percaya diri
bahwa aku mampu menang. Setidaknya, Kakakku selalu kalah meskipun jika balapan
asli aku yang kalah. Kalva menggelengkan kepala tidak percaya bahwa aku ingin memainkan
permainan ini. Aku hanya tertawa melihatnya.
“Kamu bisa ngomong sambil balapan?” tanyanya saat permainan di mulai
“Aish, terlalu mudah, Kal. Permainan kek gini sambil nyanyi juga aku
bisa”
“Kalo sambil curhat gimana?”
“Kamu sehat? Curhat mah enakan di tempat makan, pinter!” ujarku namun
konsentrasiku tetap pada permainan.
“Aku lagi naksir anak nih. Tapi kayaknya bakal ditolak, sih”
“Cemennya belum usaha udah nyerah” sahutku sambil tertawa. Aku memang
menyukai Kalva, namun sepertinya belum sampai ke tahap cemburu. Jujur, aku biasa
saja saat mendengarnya. Dan aku bisa jamin bahwa sedekat apapun Kalva dengan
ceweknya nanti, dia nggak akan ngelupain aku.
“Berat saingannya. Mantannya ganteng cuy” dan ucapannya kali ini
benar-benar membuatku tertawa. Jika kalian bertanya mengapa aku tertawa,
jawabannya adalah karena seorang Kalvano Waradana bukanlah sosok laki-laki yang
jelek. Dia termasuk dalam kategori cowok yang keren, belum lagi senyumnya yang
manis, dan jangan pernah lupa tatapan matanya yang setajam elang. Untuk ukuran
cowok, dia memiliki tinggi badan yang lebih dari cukup, bahkan tinggi badan dia
hampir menyamai tinggi oppa-oppa Koreaku.
“Menurutku kamu termasuk dalam kategori cogan anak SMA sih. Liat aja
dari tadi banyak banget yang lirikin” jawabku di sela tawaku.
“Kalo aku bilangnya aku naksir kamu boleh nggak, Na?”
Ucapannya membuatku reflek menginjak rem dan menatapnya tajam. Kalva
menatapku juga, membuat kami berdua melewatkan sejenak pertandingan balapan
kami. Ini aku nggak salah denger kan? Ini Kalvano Waradana yang ngomong kan?
Apa aku sedari tadi mimpi?
“Aku menang!” katanya santai sambil mengukir senyum. Sedangkan aku, tak
memedulikan rekorku yang harus diambil alih oleh Kalva. Aku hanya menatapnya
tajam. Aku ingin penjelasan lebih dibandinf hanya satu kalimat itu. Kalva
menatapku teduh. Percayalah, untuk ukuran seseorang yang mempunyai mata tajam,
Kalva termasuk yang paling teduh. Bikin tenang.
“Nggak usah dipikir kalo nggak mau mikir” ujarnya santai
Melangkahkan kakiku keluar arena Timezone.
Berjalan acak tak tentu arah. Hanya itu penjelasannya setelah berhasil
mengeluarkan kalimat yang memporakporandakan hatiku? Benar-benar keterlaluan. Tak
lama, aku merasakan seseorang meraih tanganku. Membuatku menepiskan tangannya.
Seolah tak ada kata menyerah, Kalva meraih tanganku dan menggenggamnya erat.
“Jangan gitu, Na. Kalo nggak suka, kamu bilang aja. Jangan asal pergi
kayak gini”
“Kamu tuh nggak jelas. Udah nembak, nggak diterusin nembaknya nggak di
tempat romantis lagi. Mana gitu kamunya—“
“Jadi, kamu mau nggak jadi pacarku?” potongnya cepat
“Ish, kamu tuh ya!” ujarku kesal seraya menepis tangannya kasar. Dan
sialnya, dia tertawa di belakangku. Dia meraih tanganku lagi. Dan menyeretku
pada photobooth di Timezone. Untung saja, antriannya lagi
sepi. Kalva langsung menarikku masuk ke dalam. Dalam hati, aku tertawa melihat
tingkahnya, namun aku masih mempertahankan muka datarku.
“Untuk menandakan bahwa hari ini hari pertama kita, maka perlu
diabadikan”
“Emang aku terima kamu?”
“Itu sudah pasti, kan kamu bilang aku tadi kategori ganteng” ucapannya
mau tak mau membuatku tertawa. Enaknya Kalva itu gini, tanpa harus aku
utarakan, dia sudah mengerti apa yang akan aku katakan. Dia seolah mampu
membaca situasi. Dan aku bersyukur berada di sampingnya selama satu bulan
setengah ini. Dia yang mampu membuatku memercayai orang lain kembali.
“Emang Reno seganteng itu ya?” godaku yang membuat dia memasang
ekspresi aneh ketika foto diambil. Melihat hasilnya membuatku tertawa lagi.
Saat aku tertawa, mesin kembali berbunyi dan terlihatlah hasilnya. Aku ingin
menghapus namun dengan cepat Kalva menghalangi.
Kami akhirnya melakukan foto dengan ekspresi yang tak ada kata menarik
untuk sesi pertama. Dan untungnya, untuk sesi ke-dua setelah cetakan pertama
keluar, Kalva mau diajak kerja sama untuk berfoto dengan pose yang biasa-biasa
saja.
Kami berjalan foodcourt untuk
mengisi perut yang sedari tadi berteriak. Kalva menggenggam tanganku seraya
membawa dua lembar foto yang tercetak. Senyum di bibirnya masih mengukir,
membuatku mengukir senyum di bibirku juga. Aku tak menyangka bahwa setelah lima
tahun, hanya dalam waktu kurang dari dua bulan, lukaku disembuhkan oleh sosok
asing bernama Kalvano Waradana. Memutar ulang kenanganku pertama kali magang,
aku tak menyangka bahwa di awal perkenalan itu justru merubah seluruh hidupku.
Aku tau yang dikatakan Kalva tadi sama sekali tak ada kata romantisnya.
Bahkan, saat kami sedang duduk menunggu makanan datangpun, dia belum mengatakan
kata yang ingin aku dengar darinya. Bagiku, itu semua nggak masalah, Kalva
menunjukkan bahwa dia mencintaiku lewat jalan yang berbeda. Dia melakukam
segala sesuatu untuk membuatku bahagia, karena aku mengerti bahwa Kalva adalah
tipe orang yang sedikit berbicara banyak bertindak.
Selesai makan, kami melangkahkan kaki menuju parkiran. Besok kami masih
harus magang dan berangkat pagi jika tidak ingin terlambat. Memasuki mobil dan
memasang sabuk pengaman. Kalva telah menyalakan mobilnya, namun dia masih tak
menggerakkan mobilnya, membuatku menatap ke arahnya bingung.
“Aku cinta kamu” ujarnya sambil menatapku
“Bagaimanapun aku tetap harus mengatakannya untuk membuat semua jelas,
bukan? Aku mencintaimu, Na. Dan aku nggak peduli soal masa lalumu. Aku nggak
bisa janji yang macem-macem, Na. Kamu tau sendiri bahwa semua pasti mengalami
perubahan. Tapi, aku selalu berharap bahwa di setiap perubahan itu, kita selalu
bergandengan, Na. Kita menghadapi semua sendiri. Hanya kita, tanpa adanya pihak
luar”
Terima kasih telah percaya padaku di saat aku tak memercayai diriku
sendiri, Kal. Terima kasih karena kamu selalu mendekapku tanpa banyak bertanya,
Kal. Terima kasih bahwa kamu selalu mendengarkanku tanpa mencoba untuk
menghakimi, Kal. Aku bersyukur mengenalmu
dalam hidupku. Aku bersyukur bahwa Tuhan memperbolehkanku untuk bertemu
dengan sosok sepertimu, Kal. Terima kasih karena kamu mampu menyembuhkan hatiku
yang terluka. Terima kasih karena telah membuatku banyak tertawa akhir-akhir
ini, Kal.
“Terima kasih, Kal. Ajari aku untuk mencinta sekali lagi”
Komentar
Posting Komentar