Menatapnya dari kejauhan. Apa
yang bisa ku deskripsikan tentangnya? Banyak. Ada terlalu banyak hal yang dapat
ku katakana jika kalian menanyakan bagaimana dia. Orang yang sangat aku pahami.
Orang yang sangat aku ketahui. Satu-satunya orang yang mampu membuat mataku
terkunci dan tak dapat berpaling kemanapun.
Dia sedang di tengah lapangan.
Meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti alunan musik. Menggerakkan tubuhnya dengan
gerakan-gerakan yang sangat ekstrem. Menurutku. Bagaimana jika dia terkena
patah tulang ketika melakukan gerakan-gerakan tersebut? Jangan tanyakan padaku
apa nama gerakannya. Aku bukanlah anak dance yang mengetahuinya. Aku hanya
mengetahui tentangnya.
Dia mengehentikan gerakannya dan
tepukan meriah langsung terdengar. Tak lupa aku juga akan bertepuk tangan
dengan semangat dari jarak ini. Jarak yang lumayan jauh dari tempatnya berada.
Kini, dia sedang berada di pinggir lapangan bersama teman-teman dance-nya. Dia
sedang meneguk minuman isotonik dengan cepat. Kasian. Dia pasti sedang capek.
Aku tersenyum dari sini. Dia
meminum minuman pemberianku. Membalikkan badan, dan mulai meninggalkannya.
Berjalan kearah perpustakaan dengan langkah yang sangat ringan. Saat jam
istirahat ke dua memang selalu ku habiskan dengan membaca novel atau menulis di
perpustakaan. Mau tau siapa pemeran utama dalam setiap tulisanku? Tentu saja
dia.
Mengambil tempat di pojok
ruangan. Tempat favoritku. Mengeluarkan sebuah catatan berukuran sedang. Aku
hendak menulis. Menulis tentang dia. Lagi. Entah sudah berapa judul cerpen atau
puisi yang berisikan tentangnya. Anehnya, aku tak pernah sedikitpun merasa
bosan. Malah selalu terselip rasa bahagia ketika aku berhasil menyelesaikan
satu judul tulisan.
Memasang earphone di telinga dan
mulai mendengarkan lagu dari Maroon 5. Mulai menulis kata demi kata hingga
tersusunlah beberapa bait yang kemudian telah sempurna menjadi sebuah puisi.
Dibagian bawah puisi tersebut aku tuliskan beberapa angka yang artinya adalah
namanya. Senyuman terukir di bibirku. Lagi. Suatu karyaku tercipta karenanya.
“Permisi” ujar seseorang seraya
menepuk pundakku. Aku seketika menegang. Aku sangat hafal dengan suara ini.
Mungkin karena tak mendapatkan
respon dariku, akhirnya dia melepas salah satu earphone-ku dan mengajakku
berbicara. Walaupun hanya sebuah pertanyaan simple yang dia tanyakan, entah
mengapa mampu membuat mulutku tak dapat berbicara.
“Tau tempat bagian novel nggak?”
Hanya sebatas pertanyaan itu.
Mampu membuat otakku yang biasanya mampu menyerap rumus sebanyak itu lumpuh
seketika. Seolah semua ilmu yang ku punya tak mampu untuk menjawab pertanyaan
semudah itu. Bahkan kita nggak memerlukan rumus integral untuk menjawabnya.
“Hai! Aku lagi ngomong sama kamu”
ujarnya seraya menggerakkan tangannya di depan wajahku
“Ah—Ehmm, bagian novel yaa?”
menggantungkan kalimatku sejenak “Di depan kamu itu rak bagian novel kok”
jawabku yang entah mengapa membuatnya langsung menggaruk tengkuknya.
Tunggu dulu. Aku tau dia bukanlah
tipe orang yang akan menghabiskan waktunya untuk membaca buku. Bahkan aku
sangat yakin kalau dia nggak pernah benar-benar membaca buku pelajaran ketika
di kelas. Ngomong-ngomong soal kelas membuatku sadar bahwa ini sudah waktunya
pelajaran di mulai. Astaga aku bisa terkena omel bu Wati, guru Bahasa Indonesia
yang galaknya sudah tersohor ke seluruh penjuru sekolah.
“Astaga! Udah masuk yaa? Bisa
telat nih” ucapku. Sebenarnya aku mengucapkan kalimat tersebut karena sebuah
reflek dan untuk diriku sendiri.
“Yap, dan kita dapet tugas buat menulis
ringkasan dari novel fiksi” jawabnya seraya mengedikkan bahu
Mendengar kata novel membuat
mataku berbinar. Terlalu banyak novel di rumahku, aku bisa memilih salah satu
dari jajaran novel-novel tersebut bukan? Betapa senangnya. Aku melihat ke
arahnya, dan dia sedang menggaruk tengkuknya. Aku tau tandanya dia sedang ingin
mengucapkan sesuatu. Bukankah aku sudah bilang kalau aku terlalu memahaminya?
“Ada apa?” tanyaku
“Kita satu kelompok” jawabnya sambil
meringis
Aku tak tau seperti apa wajahku
saat ini. Aku pasti terlihat sangat bodoh di depannya. Jangan salahkan aku,
salahkan ide yang mengatakan bahwa aku dan dia masuk ke dalam satu kelompok
yang sama. Menyadari bahwa dia masih di depanku dan menatapku ragu, membuatku
mengendalikan emosiku.
“Ehm—tugasnya apa?”
“Kita di suruh menulis ringkasan
novel yang telah di filmkan. Selain itu kita juga di suruh menulis perbedaan
antara novel dan filmnya”
“Oke, satu kelompok berapa
orang?”
“Du—a” jawabnya sambil meringis
Oke, I really stuck in an awkward
moment.
✿
Akhirnya kami masih berada di
dalam perpustakaan dan memilih untuk berdiskusi tentang novel apa yang akan
kita ambil. Dia berusaha berpikir. Walaupun aku tau kalo dia nggak bakalan
ngerti film mana yang diangkat dari novel. Toh film favoritnya juga Cuma
Transformers.
“Gimana kalo Twilight?” usulku
Twilight adalah film favoritku
diantara semua film yang kusukai. Aku menyukai vampire baik nan keren bernama
Edward Cullen tersebut. Jujur, aku merasa sangat mudah kalau memilih novel ini.
Karena aku sudah hafal di luar kepala tentang ceritanya. Ditambah aku juga
sudah menonton filmnya puluhan kali.
“Twilight ada novelnya?” See?
Bener apa kataku tadi kan?
Aku hanya menganggukkan kepalaku.
Bahkan aku akan dapat menyelesaikan tugas itu dalam satu malam saja.
“Aku sih udah hafal banget sama
ceritanya. Tapi kalo ada usul lain juga gapapa kok”
“No, I chose it. So, kapan kita
ngerjainnya?”
Pertanyaannya membuatku membeku
seketika. Bolehkah aku menolak? Aku nggak mungkin bisa bersikap biasa
terhadapnya. Itulah sebabnya aku selalu menontonnya dalam jarak yang sangat
jauh. Di dalam kelaspun aku tak pernah bertegur sapa dengannya.
“Ehm—kalo kamu sibuk, aku bisa
selesaiin ini sendiri kok” jawabku
“Nggak bisa gitu dong. Ntar
pulang sekolah tunggu aku latihan dulu yaa, baru habis gitu kita ngerjain
tugasnya”
“Nggak. Gapapa kok kalo aku
selesaiin sendirian, toh novelnya juga aku punya di rumah” Oh ayolah, aku tak
mau nantinya terlihat bodoh ketika hanya bedua dengannya.
“Pulang sekolah. Tunggu aku.
Nggak ada bantahan!” Tegasnya seraya pergi. Meninggalkanku di sini dengan
jantung yang sedang berdetak kencang. Membuat badanku yang sedari tadi tegang
dapat kembali rileks.
Aku tau setelah ucapannya
tersebut. Aku tak dapat menghindarinya. Dia tipe orang yang nggak suka
bantahan. Apapun jenis bantahan tersebut. Nggak kaget kalo dia selalu jadi pemimpin.
Karena, setiap dia sudah mulai memberikan perintah maka, mau tak mau kalian
harus menaatinya.
Menghembuskan nafasku keras. Apa
yang harus ku lakukan? Haruskah aku menunggu? Atau menghindarinya? Tapi dia
kan—Argh, bisa gila aku hari ini.
✿
Melangkahkan kakiku kembali ke
kelas. Bel pelajaran terakhir sudah berbunyi. Sengaja aku menunggu pelajaran
berakhir di perpustakaan. Aku ingin menenangkan hatiku melompat kesenangan. Aku
ingin menenangkan jantungku yang telah menghadapi lomba lari marathon. Oke,
jadi begini rencananya. Aku akan kembali ke kelas dan mengambil tasku secara
diam-diam lalu beranjak untuk pulang. Aku lebih memilih mengambil resiko dia
akan marah kepadaku dibanding aku harus berada di sebelahnya dalam jangka waktu
yang lumayan lama.
Tas sudah terpasang sempurna di
punggungku. Langkahku juga sudah berhasil untuk mencapai depan kelas. Aku pikir
akan berhasil karena aku tak melihat batang hidungnya berada di dalam kelas.
Namun, dugaanku salah. Bahkan sangat salah. Dia berdiri dibalik pintu. Bersanda
pada dinding depan ruangan.
“Sudah? Ayo!” ujarnya seraya
menggenggam tanganku.
Apakah dia tak tahu bahwa ini
sungguh sangat membuatku ingin berteriak ke seluruh dunia bahwa aku bahagia
hari ini? Bahagia sekaligus merasakan anehnya jantungku yang berdetak lebih
keras ketika aku berada di sisinya. Biasanya jantungku juga berdetak keras
ketika berada di sisinya. Namun kali ini beda, terasa lebih keras.
Dia menyeretku menuju parkiran.
Membuatku bingung. Bukankah hari ini dia ada latihan dance? Dia akan mengikuti
kompetisi dance antar sekolah kan? Harusnya dia berlatih hari ini.
“Tu—tunggu, bukannya kamu harus
latihan?”
“Kalo aku tinggal latihan ntar
kamu kabur. Lebih baik aku absen latihan saja”
Dia memaksaku untuk menaiki motor
sport favoritnya yang berwarna merah ini. Mau tak mau aku harus menurutinya.
Tak lama setelah aku naik dengan sempurna di atas motornya, dia memacukan
motornya denga kecepatan di atas rata-rata. Jangan harap aku akan memeluknya
seperti yang ada di sinetron atau FTV. Meskipun aku sangat ingin memeluknya,
namun aku tak berani melakukannya. Akhirnya, aku hanya berani untuk memegang
erat tas punggungnya.
✿
“Sampai kapan kamu mau merem
terus?” tanyanya
Reflek aku membuka mataku dan
terkejut saat aku sudah berada di depan rumahku. Segera aku melepaskan
peganganku pada tas punggungnya dan melompat turun dari motornya. Membukakan
pintu dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam rumahku.
Membawa segala yang kami butuhkan
sekaligus snack dan minuman menuju gazebo belakang rumahku. Aku memang lebih
nyaman mengerjakan tugas kelompok di sini bersama teman-temanku. Kegiatan awal
kami mulai untuk menonton filmnya terlebih dahulu.
“Aku yang bagian nonton film deh.
Sambil nyatet apa aja poin pentingnya. Kamu bagian novelnya. Gimana?”
“Boleh” jawabku
Aku mulai menuliskan rangkuman
per-bab yang ada di dalam novel ini. Segala poin-poin penting aku catat dan
merangkainya dalam beberapa kalimat. Untungnya, konsentrasiku nggak pecah saat
harus merangkum buku ini. Entahlah, mungkin memang akan susah memecahkan
konsentrasiku ketika aku sedang fokus membaca atau melihat film. Seperti saat
ini, pikiranku benar-benar teralihkan oleh Edward Cullen.
See? Benar apa kataku tadi kan?
Aku dapat menyelesaikan tugas ini dalam semalam. Bahkan nggak sampe semalam.
Karena hanya butuh dua jam. Hanya membutuhkan waktu hingga film tersebut habis
aku telah menyelesaikan tulisanku. Akhirnya kami berdiskusi menemukan
perbedaan-perbedaan yang ada di dalam buku ini.
“Ada tiga hal yang aku yakini
kebenarannya. Pertama, Edward adalah vampir. Kedua, ada sebagian dirinya—dan
aku tak tau seberapa kuat bagian itu—yang haus akan darahku. Dan ketiga, aku
jatuh cinta padanya, tanpa syarat, selamanya” ucapnya membaca tulisanku dimana
pertama kali akhirnya Bella mengetahui bahwa Edward adalah seorang vampir “Wow,
romantis” pujinya
Aku masih saja fokus untuk
mengetik di laptopku. Menggabungkan antara tulisan yang aku tulis di kertas
tadi dengan tulisannya tentang poin-poin penting yang ada dalam filmnya.
Mencoba memberikan perbedaan-perbedaan yang terlihat kecil.
“Tapi aku punya yang lebih
romantis” ujarnya. Aku hanya mendengarkan, karena aku masih saja fokus untuk
mengetik. Sebelum malam datang, tugas ini harus segera selesai. Karena aku tak
ingin dia terlalu capek hingga membuatnya drop.
“Ada tiga hal yang aku yakini
kebenarannya. Pertama, Anthea adalah seorang jenius. Kedua, ada sebagian
diriku—dan aku tak tau seberapa kuat bagian itu—yang menginginkannya untuk
berada di dekatku. Dan ketiga, aku jatuh cinta padanya, tanpa syarat, selamanya”
Apa dia bilang barusan? Ketikanku
langsung berhenti seketika. Tubuhku membeku seketika. Mungkinkah ini semua
mimpi? Sepertinya begitu, karena hal seindah ini tak mungkin sebuah kenyataan. Masih
berada di kebekuanku ketika sebuh tangan menepuk pundakku. Aku nggak siap buat
berbalik dan menatap wajahnya. Aku belum siap memperlihatkan wajahku yang saat
ini semerah buah apel.
Mungkin, memang tabiatnya dia
sebagai seorang pemaksa. Dengan mudahnya dia membalik tubuhku. Bahkan, aku tak
dapat melakukan perlawanan apapun. Aku hanya terdiam dengan bodoh sambil
menatap wajahnya. Menatap ke dalam bola mata coklatnya yang terkena sinar
matahari yang hendak tenggelam. Apakah semua itu hanya perkataan bercanda?
Aku tau. Sangat mengetahui bahwa
bukan hal rahasia lagi kalo dia sering berganti-ganti pasangan. Aku merasa
sebuah ketakutan ketika nantinya aku menganggap perkataannya serius malah itu
hanya sebuah candaan baginya. Namun, selama aku menggali sesuatu di dalam bola
matanya, aku tak menemukan apapun selain kejujuran.
Mungkinkah? Mungkinkah semua
perasaanya itu hal yang nyata? Bahkan dalam mimpi terliarku aku tak pernah
memimpikannya untuk mencintaiku. Awalnya, aku memang hanya berniat untuk
mengaguminya secara diam-diam. Aku tak ingin siapapun tau akan perasaanku ini
padanya. Namun, apakah setelah perkataannya barusan. Ditambah aku tak menemukan
sedikitpun kebohongan di matanya, aku akan tetap menyembunyikan semua
perasaanku padanya?
“Tap—kamu kan suka gonta ganti
pacar”
“Semua hanya kamuflase untuk
menutupi rasa sukaku”
Bagaikan sekumpulan awan
mengangkatku untuk menuju istana tempat para peri melaksanakan pesta permen.
Perasaanku sangatlah senang. Aku tak dapat menyembunyikan rona merah di ke dua
pipiku yang lumayan tembem ini.
Sekali lagi aku menggali ke dalam
mata coklatnya. Namun, pandanganku beralih pada rambutnya yang terlihat seperti
berwarna emas terkena cahaya matahari yang semakin turun ke tempat
persembunyiannya.
“Ada tiga hal yang aku yakini
kebenarannya. Pertama, Rajendra adalah seseorang dengan segudang bakat. Kedua,
ada sebagian diriku—dan aku tak tau seberapa kuat bagian itu—yang
menginginkanku untuk terus memperhatikannya. Dan ketiga, aku jatuh cinta
padanya, tanpa syarat, selamanya”
Aku tak menyangka. Ternyata kami
memiliki perasaan yang sama. Dan rasa ini mulai bersatu di kala senja datang.
Di kala matahari mulai tersenyum menerangi bumi dan hendak menyerahkan tugasnya
menerangi bumi kepada bulan dan bintang.
Komentar
Posting Komentar