Langsung ke konten utama

Twilight♥


Menatapnya dari kejauhan. Apa yang bisa ku deskripsikan tentangnya? Banyak. Ada terlalu banyak hal yang dapat ku katakana jika kalian menanyakan bagaimana dia. Orang yang sangat aku pahami. Orang yang sangat aku ketahui. Satu-satunya orang yang mampu membuat mataku terkunci dan tak dapat berpaling kemanapun. 


Dia sedang di tengah lapangan. Meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti alunan musik. Menggerakkan tubuhnya dengan gerakan-gerakan yang sangat ekstrem. Menurutku. Bagaimana jika dia terkena patah tulang ketika melakukan gerakan-gerakan tersebut? Jangan tanyakan padaku apa nama gerakannya. Aku bukanlah anak dance yang mengetahuinya. Aku hanya mengetahui tentangnya.

Dia mengehentikan gerakannya dan tepukan meriah langsung terdengar. Tak lupa aku juga akan bertepuk tangan dengan semangat dari jarak ini. Jarak yang lumayan jauh dari tempatnya berada. Kini, dia sedang berada di pinggir lapangan bersama teman-teman dance-nya. Dia sedang meneguk minuman isotonik dengan cepat. Kasian. Dia pasti sedang capek.

Aku tersenyum dari sini. Dia meminum minuman pemberianku. Membalikkan badan, dan mulai meninggalkannya. Berjalan kearah perpustakaan dengan langkah yang sangat ringan. Saat jam istirahat ke dua memang selalu ku habiskan dengan membaca novel atau menulis di perpustakaan. Mau tau siapa pemeran utama dalam setiap tulisanku? Tentu saja dia.

Mengambil tempat di pojok ruangan. Tempat favoritku. Mengeluarkan sebuah catatan berukuran sedang. Aku hendak menulis. Menulis tentang dia. Lagi. Entah sudah berapa judul cerpen atau puisi yang berisikan tentangnya. Anehnya, aku tak pernah sedikitpun merasa bosan. Malah selalu terselip rasa bahagia ketika aku berhasil menyelesaikan satu judul tulisan.

Memasang earphone di telinga dan mulai mendengarkan lagu dari Maroon 5. Mulai menulis kata demi kata hingga tersusunlah beberapa bait yang kemudian telah sempurna menjadi sebuah puisi. Dibagian bawah puisi tersebut aku tuliskan beberapa angka yang artinya adalah namanya. Senyuman terukir di bibirku. Lagi. Suatu karyaku tercipta karenanya.

“Permisi” ujar seseorang seraya menepuk pundakku. Aku seketika menegang. Aku sangat hafal dengan suara ini.

Mungkin karena tak mendapatkan respon dariku, akhirnya dia melepas salah satu earphone-ku dan mengajakku berbicara. Walaupun hanya sebuah pertanyaan simple yang dia tanyakan, entah mengapa mampu membuat mulutku tak dapat berbicara.

“Tau tempat bagian novel nggak?”

Hanya sebatas pertanyaan itu. Mampu membuat otakku yang biasanya mampu menyerap rumus sebanyak itu lumpuh seketika. Seolah semua ilmu yang ku punya tak mampu untuk menjawab pertanyaan semudah itu. Bahkan kita nggak memerlukan rumus integral untuk menjawabnya.

“Hai! Aku lagi ngomong sama kamu” ujarnya seraya menggerakkan tangannya di depan wajahku

“Ah—Ehmm, bagian novel yaa?” menggantungkan kalimatku sejenak “Di depan kamu itu rak bagian novel kok” jawabku yang entah mengapa membuatnya langsung menggaruk tengkuknya.

Tunggu dulu. Aku tau dia bukanlah tipe orang yang akan menghabiskan waktunya untuk membaca buku. Bahkan aku sangat yakin kalau dia nggak pernah benar-benar membaca buku pelajaran ketika di kelas. Ngomong-ngomong soal kelas membuatku sadar bahwa ini sudah waktunya pelajaran di mulai. Astaga aku bisa terkena omel bu Wati, guru Bahasa Indonesia yang galaknya sudah tersohor ke seluruh penjuru sekolah.

“Astaga! Udah masuk yaa? Bisa telat nih” ucapku. Sebenarnya aku mengucapkan kalimat tersebut karena sebuah reflek dan untuk diriku sendiri.

“Yap, dan kita dapet tugas buat menulis ringkasan dari novel fiksi” jawabnya seraya mengedikkan bahu

Mendengar kata novel membuat mataku berbinar. Terlalu banyak novel di rumahku, aku bisa memilih salah satu dari jajaran novel-novel tersebut bukan? Betapa senangnya. Aku melihat ke arahnya, dan dia sedang menggaruk tengkuknya. Aku tau tandanya dia sedang ingin mengucapkan sesuatu. Bukankah aku sudah bilang kalau aku terlalu memahaminya?

“Ada apa?” tanyaku

“Kita satu kelompok” jawabnya sambil meringis

Aku tak tau seperti apa wajahku saat ini. Aku pasti terlihat sangat bodoh di depannya. Jangan salahkan aku, salahkan ide yang mengatakan bahwa aku dan dia masuk ke dalam satu kelompok yang sama. Menyadari bahwa dia masih di depanku dan menatapku ragu, membuatku mengendalikan emosiku.

“Ehm—tugasnya apa?”

“Kita di suruh menulis ringkasan novel yang telah di filmkan. Selain itu kita juga di suruh menulis perbedaan antara novel dan filmnya”

“Oke, satu kelompok berapa orang?”

“Du—a” jawabnya sambil meringis

Oke, I really stuck in an awkward moment.




Akhirnya kami masih berada di dalam perpustakaan dan memilih untuk berdiskusi tentang novel apa yang akan kita ambil. Dia berusaha berpikir. Walaupun aku tau kalo dia nggak bakalan ngerti film mana yang diangkat dari novel. Toh film favoritnya juga Cuma Transformers.

“Gimana kalo Twilight?” usulku

Twilight adalah film favoritku diantara semua film yang kusukai. Aku menyukai vampire baik nan keren bernama Edward Cullen tersebut. Jujur, aku merasa sangat mudah kalau memilih novel ini. Karena aku sudah hafal di luar kepala tentang ceritanya. Ditambah aku juga sudah menonton filmnya puluhan kali.

“Twilight ada novelnya?” See? Bener apa kataku tadi kan?

Aku hanya menganggukkan kepalaku. Bahkan aku akan dapat menyelesaikan tugas itu dalam satu malam saja. 

“Aku sih udah hafal banget sama ceritanya. Tapi kalo ada usul lain juga gapapa kok”

“No, I chose it. So, kapan kita ngerjainnya?”

Pertanyaannya membuatku membeku seketika. Bolehkah aku menolak? Aku nggak mungkin bisa bersikap biasa terhadapnya. Itulah sebabnya aku selalu menontonnya dalam jarak yang sangat jauh. Di dalam kelaspun aku tak pernah bertegur sapa dengannya. 

“Ehm—kalo kamu sibuk, aku bisa selesaiin ini sendiri kok” jawabku

“Nggak bisa gitu dong. Ntar pulang sekolah tunggu aku latihan dulu yaa, baru habis gitu kita ngerjain tugasnya”

“Nggak. Gapapa kok kalo aku selesaiin sendirian, toh novelnya juga aku punya di rumah” Oh ayolah, aku tak mau nantinya terlihat bodoh ketika hanya bedua dengannya.

“Pulang sekolah. Tunggu aku. Nggak ada bantahan!” Tegasnya seraya pergi. Meninggalkanku di sini dengan jantung yang sedang berdetak kencang. Membuat badanku yang sedari tadi tegang dapat kembali rileks.

Aku tau setelah ucapannya tersebut. Aku tak dapat menghindarinya. Dia tipe orang yang nggak suka bantahan. Apapun jenis bantahan tersebut. Nggak kaget kalo dia selalu jadi pemimpin. Karena, setiap dia sudah mulai memberikan perintah maka, mau tak mau kalian harus menaatinya.

Menghembuskan nafasku keras. Apa yang harus ku lakukan? Haruskah aku menunggu? Atau menghindarinya? Tapi dia kan—Argh, bisa gila aku hari ini.




Melangkahkan kakiku kembali ke kelas. Bel pelajaran terakhir sudah berbunyi. Sengaja aku menunggu pelajaran berakhir di perpustakaan. Aku ingin menenangkan hatiku melompat kesenangan. Aku ingin menenangkan jantungku yang telah menghadapi lomba lari marathon. Oke, jadi begini rencananya. Aku akan kembali ke kelas dan mengambil tasku secara diam-diam lalu beranjak untuk pulang. Aku lebih memilih mengambil resiko dia akan marah kepadaku dibanding aku harus berada di sebelahnya dalam jangka waktu yang lumayan lama.

Tas sudah terpasang sempurna di punggungku. Langkahku juga sudah berhasil untuk mencapai depan kelas. Aku pikir akan berhasil karena aku tak melihat batang hidungnya berada di dalam kelas. Namun, dugaanku salah. Bahkan sangat salah. Dia berdiri dibalik pintu. Bersanda pada dinding depan ruangan.

“Sudah? Ayo!” ujarnya seraya menggenggam tanganku.

Apakah dia tak tahu bahwa ini sungguh sangat membuatku ingin berteriak ke seluruh dunia bahwa aku bahagia hari ini? Bahagia sekaligus merasakan anehnya jantungku yang berdetak lebih keras ketika aku berada di sisinya. Biasanya jantungku juga berdetak keras ketika berada di sisinya. Namun kali ini beda, terasa lebih keras.

Dia menyeretku menuju parkiran. Membuatku bingung. Bukankah hari ini dia ada latihan dance? Dia akan mengikuti kompetisi dance antar sekolah kan? Harusnya dia berlatih hari ini.

“Tu—tunggu, bukannya kamu harus latihan?”

“Kalo aku tinggal latihan ntar kamu kabur. Lebih baik aku absen latihan saja”

Dia memaksaku untuk menaiki motor sport favoritnya yang berwarna merah ini. Mau tak mau aku harus menurutinya. Tak lama setelah aku naik dengan sempurna di atas motornya, dia memacukan motornya denga kecepatan di atas rata-rata. Jangan harap aku akan memeluknya seperti yang ada di sinetron atau FTV. Meskipun aku sangat ingin memeluknya, namun aku tak berani melakukannya. Akhirnya, aku hanya berani untuk memegang erat tas punggungnya.




“Sampai kapan kamu mau merem terus?” tanyanya

Reflek aku membuka mataku dan terkejut saat aku sudah berada di depan rumahku. Segera aku melepaskan peganganku pada tas punggungnya dan melompat turun dari motornya. Membukakan pintu dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam rumahku.

Membawa segala yang kami butuhkan sekaligus snack dan minuman menuju gazebo belakang rumahku. Aku memang lebih nyaman mengerjakan tugas kelompok di sini bersama teman-temanku. Kegiatan awal kami mulai untuk menonton filmnya terlebih dahulu. 

“Aku yang bagian nonton film deh. Sambil nyatet apa aja poin pentingnya. Kamu bagian novelnya. Gimana?”

“Boleh” jawabku

Aku mulai menuliskan rangkuman per-bab yang ada di dalam novel ini. Segala poin-poin penting aku catat dan merangkainya dalam beberapa kalimat. Untungnya, konsentrasiku nggak pecah saat harus merangkum buku ini. Entahlah, mungkin memang akan susah memecahkan konsentrasiku ketika aku sedang fokus membaca atau melihat film. Seperti saat ini, pikiranku benar-benar teralihkan oleh Edward Cullen.

See? Benar apa kataku tadi kan? Aku dapat menyelesaikan tugas ini dalam semalam. Bahkan nggak sampe semalam. Karena hanya butuh dua jam. Hanya membutuhkan waktu hingga film tersebut habis aku telah menyelesaikan tulisanku. Akhirnya kami berdiskusi menemukan perbedaan-perbedaan yang ada di dalam buku ini.

“Ada tiga hal yang aku yakini kebenarannya. Pertama, Edward adalah vampir. Kedua, ada sebagian dirinya—dan aku tak tau seberapa kuat bagian itu—yang haus akan darahku. Dan ketiga, aku jatuh cinta padanya, tanpa syarat, selamanya” ucapnya membaca tulisanku dimana pertama kali akhirnya Bella mengetahui bahwa Edward adalah seorang vampir “Wow, romantis” pujinya

Aku masih saja fokus untuk mengetik di laptopku. Menggabungkan antara tulisan yang aku tulis di kertas tadi dengan tulisannya tentang poin-poin penting yang ada dalam filmnya. Mencoba memberikan perbedaan-perbedaan yang terlihat kecil.

“Tapi aku punya yang lebih romantis” ujarnya. Aku hanya mendengarkan, karena aku masih saja fokus untuk mengetik. Sebelum malam datang, tugas ini harus segera selesai. Karena aku tak ingin dia terlalu capek hingga membuatnya drop.

“Ada tiga hal yang aku yakini kebenarannya. Pertama, Anthea adalah seorang jenius. Kedua, ada sebagian diriku—dan aku tak tau seberapa kuat bagian itu—yang menginginkannya untuk berada di dekatku. Dan ketiga, aku jatuh cinta padanya, tanpa syarat, selamanya”

Apa dia bilang barusan? Ketikanku langsung berhenti seketika. Tubuhku membeku seketika. Mungkinkah ini semua mimpi? Sepertinya begitu, karena hal seindah ini tak mungkin sebuah kenyataan. Masih berada di kebekuanku ketika sebuh tangan menepuk pundakku. Aku nggak siap buat berbalik dan menatap wajahnya. Aku belum siap memperlihatkan wajahku yang saat ini semerah buah apel.

Mungkin, memang tabiatnya dia sebagai seorang pemaksa. Dengan mudahnya dia membalik tubuhku. Bahkan, aku tak dapat melakukan perlawanan apapun. Aku hanya terdiam dengan bodoh sambil menatap wajahnya. Menatap ke dalam bola mata coklatnya yang terkena sinar matahari yang hendak tenggelam. Apakah semua itu hanya perkataan bercanda? 

Aku tau. Sangat mengetahui bahwa bukan hal rahasia lagi kalo dia sering berganti-ganti pasangan. Aku merasa sebuah ketakutan ketika nantinya aku menganggap perkataannya serius malah itu hanya sebuah candaan baginya. Namun, selama aku menggali sesuatu di dalam bola matanya, aku tak menemukan apapun selain kejujuran.

Mungkinkah? Mungkinkah semua perasaanya itu hal yang nyata? Bahkan dalam mimpi terliarku aku tak pernah memimpikannya untuk mencintaiku. Awalnya, aku memang hanya berniat untuk mengaguminya secara diam-diam. Aku tak ingin siapapun tau akan perasaanku ini padanya. Namun, apakah setelah perkataannya barusan. Ditambah aku tak menemukan sedikitpun kebohongan di matanya, aku akan tetap menyembunyikan semua perasaanku padanya?

“Tap—kamu kan suka gonta ganti pacar”

“Semua hanya kamuflase untuk menutupi rasa sukaku”

Bagaikan sekumpulan awan mengangkatku untuk menuju istana tempat para peri melaksanakan pesta permen. Perasaanku sangatlah senang. Aku tak dapat menyembunyikan rona merah di ke dua pipiku yang lumayan tembem ini.

Sekali lagi aku menggali ke dalam mata coklatnya. Namun, pandanganku beralih pada rambutnya yang terlihat seperti berwarna emas terkena cahaya matahari yang semakin turun ke tempat persembunyiannya. 

“Ada tiga hal yang aku yakini kebenarannya. Pertama, Rajendra adalah seseorang dengan segudang bakat. Kedua, ada sebagian diriku—dan aku tak tau seberapa kuat bagian itu—yang menginginkanku untuk terus memperhatikannya. Dan ketiga, aku jatuh cinta padanya, tanpa syarat, selamanya”

Aku tak menyangka. Ternyata kami memiliki perasaan yang sama. Dan rasa ini mulai bersatu di kala senja datang. Di kala matahari mulai tersenyum menerangi bumi dan hendak menyerahkan tugasnya menerangi bumi kepada bulan dan bintang.

Our love’s meet when it’s twilight.♥

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta Cenat Cenut

Dulu waktu awal-awal aku jadi smesbles drama mini seri ini muncul. Dan selalu membuat 'booming' para 'Performance' *sebutan kelasku* gimana gak? orang mayoritas warganya SMASHBLAST walaupun gak dikit juga yg antis. Tapi, selalu di bikin bahan candaan, bahan debatan, dll. Cinta cenat cenut atau di singkat CCC ini waktu awal mulainya selalu di tunggu-tunggu, banyak banget anak yg update status gak sabar pengen liat drama mini seri ini. Bahkan, yang awalnya antis setelah nonton ccc beralih menjadi SMASHBLAST! Keren gak sih? Keren banget doonng :D . Dan, banyak banget yg mengikuti SM*SH maen di drama mini seri atau kalo gak gitu FTV, seolah-olah julukan SM*SH sebagai 'pioner' itu bener-bener terasa banget. Sayang, ccc cuma 13 episode, waktu episode terakhir aku sempet nangis sihh, tapi cuma bentar, toh katanya ccc 2 bakalan ada. Berbulan-bulan aku nantiin, tapi selalu dalam tahap project! Sampai pada sekitaran November ccc2 resmi tanyang pada tanggal 3 Desember 2011

Review : Tujuh Hari untuk Keshia

Tujuh Hari untuk Keshia. Adalah novel kesekian karya seorang Inggrid Sonya yang aku baca bahkan sejak cerita itu masih di Wattpad. Cerita yang mungkin bagi sebagian orang sad ending, namun bagiku cerita ini termasuk dalam kategori happy ending dan ending yang masuk akal. Kenapa gitu? Yaaa, karena pada endingnya, setiap tokoh dapat mengikhlaskan dengan tulus, dapat kembali lagi menjalani aktifitasnya. Dan masih tetap mencintai sosok Sadewa tanpa harus terpuruk lebih jauh lagi. Setiap tokoh sudah menemukan bahagianya masing-masing tanpa harus melupakan Sadewa. Happy ending bukan? Untuk perbedaan versi wattpad dan buku, jujur aku lebih suka versi wattpad hehehe. Abang Riverku banyak part di versi wattpad, dan berkat versi wattpad ini juga aku sehalu itu sama River sampe-sampe dulu kalo bingung mau curhat ke siapa, aku nulis curhatanku dan bikin seolah olah aku ngobrol sama River. Sehalu itu memang. Tapi, jujur kalo buat masalah jalan cerita, penokohan, dan kesan ajaib dari cerita ini

Aku Masih Menulis...

Aku masih menulis, Menulis tentang masa-masa yang telah aku tinggal jauh di belakang, Masih berangan tentang mawar yang aku usahakan untukmu, Masih berangan tentang binar matamu yang aku pikir hanya untukku kala itu, Masih berangan tentang bercerita di depan api unggun yang kamu nyalakan musim dingin itu. Aku masih menulis, Menulis tentang sinar pancaran matamu saat kamu bercerita, Menulis tentang indah garis lengkung bibirmu saat kamu tersenyum, Menulis tentang merdu suara tawamu saat kamu tertawa. Aku masih menulis, Menulis tentang kemungkinan-kemungkinan dunia paralel yang kamu ceritakan itu benar adanya, Menulis tentang kemungkinan di dunia paralel itu kita sedang mewujudkan impian-impian kita, Menulis tentang kemungkinan di dunia paralel itu kita saling bergerak tanpa ada rasa takut. Aku masih menulis, Menguatkan ingatanku yang mulai memburam tentang apa-apa tentangmu, Menguatkan bayangmu yang perlahan mulai menghilang, Menguatkan kisah-kisah yang kita pernah bakar h