Langsung ke konten utama

The Way I Love You

Semua yang berkaitan dengannya nyatanya tak pernah berakhir baik-baik saja. Lagu yang sering dia putar, makanan yang selalu dia pesan, bahkan setiap tempat yang selalu dia dan aku datangi. Semua tak pernah menjadi hal yang berakhir baik jika aku bertemu dengannya. Semua hal itu akan selalu mendatangkan jutaan kenangan yang lama telah aku coba untuk lupakan. Termasuk jalanan yang saat ini sedang aku pandangi. Sebuah jalan bernama Malioboro yang dulunya menjadi tempat nomor satu bagiku.

Lalu lalang manusia tidak membuat otakku berhenti bekerja dalam menghentikan semua kenangan yang mendadak datang bagaikan sebuah film yang aku tonton di tv usang. Samar namun menguat di saat bersama. Memburam tapi tercetak kuat di saat bersamaan. Membuatku menggila. Membuatku sesak akan dorongan rindu yang tidak boleh aku rasakan kembali.

He is sensible and so incredible

Mencoba menghapus bayangannya dengan memikirkan seseorang yang beberapa bulan ini selalu menemaniku. Mencoba untuk meyakinkan hatiku bahwa semua kenangan yang menerobos masuk ini adalah salah.

And all my single friends are jealous

Mengingatkan diriku bahwa setiap temanku mengatakan bahwa mereka ingin memiliki laki-laki seperti yang saat ini sedang aku miliki. Meyakinkan diriku sendiri bahwa laki-laki ini adalah yang terbaik dari semua yang pernah mendekatiku.

Sampai aku mendengar suaranya…

“Nindya?”

Suara-suara di dalam otakku berebut untuk di dengarkan. Satu suara memintaku untuk tidak berbalik dan berjalan maju ke depan. Sedang satu suara lainnya menyuruh tubuhku berbalik dan membuktikan apakah itu benar dia? Dalam proses perdebatan itu, tubuhku membeku. Tak mampu menggerakkan satu sentipun kakiku, sampai ada tangan lain yang membantuku membalikkan tubuhku. Membuat mataku bersirobok dengan mata elang yang sedari tadi aku pikirkan. Membuat mataku menatap satu senyum yang telah lama tidak aku lihat bentuknya.

“Kan bener Nindya. Sendiri?”

Satu senyum langsung tercetak di bibirku. Satu senyum yang selalu muncul di saat mataku bertemu dengan objek kesayangannya.

“Nggak, tadi sama temen kantor, cuma mereka lagi pada makan sate di sana”

“Terus, lo lagi ngantri beli choco top di sini?”

“Iyaa, soalnya mereka nggak ada yang mau nemenin” jawabku sambil tertawa

“Iyalah, lagian lo ada ada aja, ke Jogja tuh makannya gudeg, ini malah beli choco top. Kaya di Jakarta nggak ada McD aja”

“Lo jangan ngejek kesukaan gue deh, sana pergi aja” sahutku

Dan sialnya, aku mendengar kembali tawa yang telah lama aku tidak dengar. Tawa yang selalu jadi suara favorit bagiku. Matanya yang menghilang dan gigi rapihnya yang nampak membuatku ikut memunculkan senyum kecil.

But I miss screaming and fighting and kissing in the rain

“Gue lagi ada kerja sama di Jogja, terus pas jalan liat kok kek nggak asing, taunya bener lo. Apa kabar, Nin?”

“Baik…” Buruk, sejak kamu melangkah pergi, kabarku tidak pernah baik-baik saja.

“Gimana rasanya jadi Ayah?” lanjutku. Yang sialnya aku menyesali keputusanku karena aku melihat senyum itu kembali mengembang semakin lebar dan bukan aku penyebab terbitnya senyuman itu.

And it's 2 a.m. and I'm cursing your name

So in love that you act insane

Wonderful, like, I can’t describe how the feel. It’s just….too amazing

“Gayaan bener si bapak” tanpa ada yang tau bahwa ada pisau tak kasat mata yang mencabik hatiku yang sebenarnya sudah lama tak berbentuk.

Bahagia. Seseorang di depanku ini akhirnya sudah menemukan bahagianya. Sama seperti doa yang dahulu aku selalu panjatkan bahwa dia akan menemukan bahagianya. Harusnya, aku senang karena setiap doa yang aku panjatkan kini menjadi kenyataan. Tapi, nyatanya aku tidak bisa merasa ikut senang. Aku justru benci fakta bahwa bahagia yang dia rasakan bukan karena aku penyebabnya.

Saat aku ingin mengucapkan kalimat pamit padanya, di saat itulah aku merasakan sentuhan di pinggangku. Membuatku menatap sosok yang kini ada di sisi kiriku. Sosok yang tersenyum manis sampai matanya menghilang. Sosok yang entah sejak kapan berusaha hadir dalam kehidupanku.

“Aku cari kamu dari tadi, belum selesaikah?”

“Udah, tadi mau balik tapi ketemu temen”

“Oh, sorry, gue Juan” ujar Juan langsung dan mengulurkan tangan

“Hai bro, gue Rafa” jawab Rafa yang entah bagaimana menimbulkan efek dari pegangan Juan di pinggangku menguat.

Merasakan aura yang tidak biasa membuatku memutuskan untuk berpamitan pada Rafa. Mengucapkan selamat tinggal entah untuk yang keberapa kalinya hanya untuk pergi dari sisinya. Dan sialnya, memang selalu aku mengucapkan selamat tinggal. Memang selalu aku yang melangkahkan kakiku menjauh pertama kali. Dan memang selalu aku yang memutuskan untuk menyerah dalam memerjuangkan apa-apa saja yang aku dan Rafa bisa perjuangkan dulunya.

Tangan yang berada di pinggangku kini berpindah menggenggam tanganku erat. Membiarkan Juan yang memimpin kemana raganya akan membawaku. Karena setiap kali diriku bertemu dengan Rafa hasilnya memang tidak akan baik. Pertemuanku dengan Rafa nyatanya selalu berhasil melumpuhkan kinerja otakku yang banyak orang puji ini.

He can't see the smile I'm faking

And my heart's not breaking

'Cause I'm not feeling anything at all

Juan membawaku kembali ke hotel tempat kami menginap. Langkahnya yang besar membuatku sedikit kesulitan dalam mengikutinya. Dan tanganku menyentak keras di saat kami telah sampai di ruangannya. Mata kami saling menatap marah. Entah apa yang membuatku marah. Antara dia yang datang terlalu cepat dan mengganggu momenku dengan Rafa. Atau tentang dia yang berjalan dengan langkah besar sehingga membuatku kesulitan dalam mengikutinya.

Kami berdua saling berdiam. Mencoba untuk membaca apapun dari pikiran masing-masing. Ketika aku sudah muak akan keterdiaman yang tak berujung ini, membuatku ingin melangkahkan kakiku pergi dan kembali ke ruanganku. Lebih baik aku mengalah karena aku tahu bahwa ini tidak akan berakhir baik.

Saat kakiku berpindah satu langkah, maka saat itulah aku merasakan pelukan. Tangannya erat memeluk tubuh dan kepalanya yang disandarkan di pundakku. Dengan perbedaan tinggiku dan dia yang signifikan, aku bisa pastikan bahwa dia menahan sakit.

“Aku mau balik”

“Bisa nggak, hobi kamu jangan pamit terus?”

Pertanyaan darinya menyadarkanku. Bahwa selama ini, selama sepuluh tahun terakhir ini, aku selalu mengusir siapa saja yang berusaha mendekat. Aku selalu melangkah pergi mengabaikan siapa saja yang berdiri di depan pintu dan ingin singgah. Bahwa aku selalu membawa kakiku untuk kembali ke ruang kenangan yang aku ciptakan khusus untuk Rafa. Bahwa siapapun tidak akan ada yang bisa mengganggu gugat keputusanku ini.

Sampai akhirnya, di satu siang, sosok Juan hadir. Bagaikan hama yang tak bisa aku singkirkan, dia selalu saja hadir. Mau seberapa keras aku mengusirnya, dia tak pernah beranjak. Bahkan di saat aku melangkah pergi, dia dengan santainya mengikuti kemana saja langkahku pergi.

Membalikkan badanku dan menatap ke dalam matanya. Menyelami lautan pikirannya dari retinanya yang sedang bergetar di depanku.

“Dia orangnya, Ju. Dan sampai saat ini masih dia pemenangnya”

“Bohong! Bukan cuma dia pemenangnya sekarang”

“Selamanya hanya ada Rafa, Ju. Jadi berhenti aja ya?”

Juan memeluk tubuhku erat. Merasakan getaran tangannya di pinggangku membuatku yakin bahwa setelah ini, dia akan muak terhadapku yang sudah tak terselamatkan ini. Bahwa akhirnya dia akan membuangku, sama seperti aku membuang diriku dengan berlari dari Rafa sepuluh tahun yang lalu.

“Aku tahu kamu bohong. Apa kamu nggak capek, Nin?”

Capek.

“Nggak, aku nggak lagi lari. Jadi gimana aku capeknya?”

Juan tertawa mendengar jawabanku. Tangannya semakin merapatkan pelukannya. Membawa tubuhku bersandar pada dadanya. Sedang tangannya yang satu lagi membelai pelan kepalaku. Seolah dengan semua yang dia lakukan ini bisa mengusir pikiran-pikiran sialan yang sedari kemarin menghantuiku. Seolah dengan aku berada di dalam pelukan mampu mengurai satu per satu tali yang mengikat dadaku dan membuatku sesak.

Dan sialnya, semua itu berhasil.

Katakan aku brengsek, bahwa saat ini aku merasakan nyaman yang berbeda. Katakan aku brengsek karena kenyataannya saat ini satu per satu tali yang mengikatku seolah terlepas. Persetan dengan semua suara yang menghantuiku, tapi aku tak akan menolak fakta bahwa aku menyukai pelukannya.

“Lega?” yang aku jawab dengan anggukan. Merasakan gerakan kepalaku membuat pelukannya semakin mengerat. Membuat satu senyum timbul di bibirku.

“Kamu nggak capek, Ju?”

“Selama larinya sama kamu, aku nggak akan capek”

“Kamu tahu kalo brengsek udah jadi nama tengahku”

“Dan kamupun tahu kalo aku adalah alligator”

Jawaban yang keluar dari mulutnya membuatku memukul punggungnya. Membuat tawanya berdenting. Indah. Tawa kedua yang selalu sukses membuatku ikut merasakan senang.

“Aku kangen berantem tengah malem bareng Rafa”

“Ini kita lagi berantem tengah malem”

“Aku kangen dia yang tetiba nyulik aku buat makan choco top tengah malem”

“Kamu tadi udah beli choco top sendiri, jadi besok lagi yaa, nanti kamu sakit tenggorokan kalo kebanyakan makan es krim”

“Bukan itu intinya, Ju!”

“Aku bakalan ngelakuin apa aja buat bikin nama Rafa memudar di otak kamu. Aku bakalan jauh lebih sinting dari apa yang pernah dia lakuin ke kamu. Aku bakalan lakuin apa aja! Any thing to make you stay beside me! Meskipun itu artinya selamanya aku dan kamu akan hidup di dalam bayangan Rafa!”

“Jangan bego deh jadi cowok!”

Tanganku berusaha untuk mengurai pelukan Juan. Dan mataku menatap marah ke arahnya. Menatap marah entah untuk alasan apa. Untuk alasan dia yang tak mengijinkanku untuk tenggelam di ruang kenangan yang lama aku ciptakan khusus untuk Rafa. Atau untuk alasan bahwa aku tidak ingin Juan merasakan sakit yang tak berujung ketika dia masih bertahan dalam membuktikan ucapannya.

Aku tidak ingat sudah berapa kali mulutku menyuruhnya untuk berhenti dan pergi dari sisiku. Mulai dari bahasa yang sopan sampai bahasa yang tidak beretika sudah aku keluarkan, dan sialnya dia masih bertahan ada di sampingku. Terhitung sudah lima bulan lamanya sejak dia menyatakan bahwa dia mencintaiku. Terhitung sudah lima bulan sejak dia mengatakan bahwa ingin berada di sisiku. Dan sudah tak terhitung seberapa banyak kejadian ini akan selalu berulang jika ada yang memancing kenanganku dan Rafa muncul. Ini bukan yang pertama.

Dan aku, cewek tidak tahu diri ini, bukannya bersyukur bahwa ada lelaki tampan yang menerima dia apa adanya, malah dengan sombongnya mengusir dia untuk pergi. Bukannya bersyukur dan meneriman uluran tangan, malah mengabaikan uluran tangan itu dan sibuk menenggelamkan diriku pada kolam kenangan yang aku ciptakan sendiri.

Juan bukanlah lawan yang sepadan. Pesonanya yang berhasil mengisi setiap kepingan hatiku yang tak berbentuk nyatanya sukses membuatku takut. Semakin besar pengaruh Juan, nyatanya berhasil menimbulkan ketakutan akan masa lalu yang telah lama aku lupakan. Juan, laki-laki yang kini menatapku sama marahnya nyatanya berhasil membuatku goyah. Seorang Juandra Pratama nyatanya berhasil sedikit demi sedikit menghancurkan ruang kenangan milik Rafa.

Hal itulah yang membuat sebagian dari diriku marah. Seolah ruangan yang sepuluh tahun aku jaga sepenuh hati mengapa bisa retak hanya karena seorang Juandra Pratama yang eksistensinya belum genap setahun ada di sekitarku. Nyatanya, seorang Juandra Pratama berhasil membuktikan bahwa sosoknya mampu memiliki pengaruh terhadap diri ini.

Dan. Aku. Benci. Mengakuinya.

“Apa selama ini yang aku lakuin masih kurang, Nin?”

Nggak, Ju.

“Apa kamu nggak capek bohong sama diri kamu sendiri? Apa kamu nggak capek buat terus-terusan make alasan Rafa setiap kali tubuhmu mengatakan hal yang berbeda dan bereaksi sama kehadiranku?”

Aku capek.

“Jawab, Nin!”

Demi Tuhan! Aku ingin menjawab semua pertanyaan yang dia tanyakan. Tapi, lidahku terlalu keluh untuk menjawab. Dan pikiranku masih berdebat tentang mana yang lebih menarik dan berpengaruh bagiku. Apakah debat di jam 3 subuh dengan Rafa atau Juan yang menemaniku menonton drama Korea yang dia benci? Apakah mendengarkan Rafa bermain gitar dan menyanyikan lagu favoritku atau Juan yang bahagia saat dia tahu bahwa aku menemaninya latihan basket di lapangan kompleknya?

Lembaran bayanganku lama kelamaan menjadi jelas. Memunculkan tawaku yang muncul akan setiap jokes receh milik Juan. Memunculkan tangisanku di sampingnya setiap scene menyedihkan dari drama yang aku tonton. Menampilkan tawa bahagiaku saat aku dia berhasil memenangkan war ticket dari konser salah satu boygroup yang aku suka. Memperlihatkan senyumku yang terbentuk dari setiap waktu dia mendengarkanku bercerita tentang deretan cowok fiksi yang aku suka.

Juandra Pratama nyatanya berhasil mendominasi pikiranku malam ini.

“Ju…”

Panggilan lirihku membuat Juan maju dan menggenggam tanganku. Membuatku yang sedari tadi menunduk bisa melihat tangannya yang mulai mengaitkan jari kami. Tautan tangan kami menarikku untuk kembali mendekat ke arahnya.

“Apa kamu bakalan bertahan kalo semua hal yang berkaitan sama Rafa muncul dan aku bakalan bersikap seolah dia cinta terakhirku, Ju? Apa kamu bakalan bertahan kalo nantinya aku bakalan nangisin Rafa kayak gini lagi?”

“Aku yang akan pastikan kalo bayangan Rafa bakalan hilang, Nin. Aku cuma butuh kamu ada di samping aku. Dan aku bakalan bikin kamu jatuh cinta lebih gila dari kamu cinta ke cowok itu”

Dan ketika aku mendengar jawaban yang keluar dari mulut Juan, tubuhku bergerak otomatis untuk memeluknya. Membuatku merasakan tempat ternyaman yang akhir-akhir ini selalu aku butuhkan untuk menghilangkan rasa lelahku dari semua pekerjaan yang ada. Dan Juan, membawaku semakin jatuh ke dalam pelukannya. Membawaku ke dalam kenyamanan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Detik ini juga, aku tahu bahwa pelukan Juan entah sejak kapan sudah menjadi tempat favoritku.

All I know since yesterday

Is everything has changed

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review : Tujuh Hari untuk Keshia

Tujuh Hari untuk Keshia. Adalah novel kesekian karya seorang Inggrid Sonya yang aku baca bahkan sejak cerita itu masih di Wattpad. Cerita yang mungkin bagi sebagian orang sad ending, namun bagiku cerita ini termasuk dalam kategori happy ending dan ending yang masuk akal. Kenapa gitu? Yaaa, karena pada endingnya, setiap tokoh dapat mengikhlaskan dengan tulus, dapat kembali lagi menjalani aktifitasnya. Dan masih tetap mencintai sosok Sadewa tanpa harus terpuruk lebih jauh lagi. Setiap tokoh sudah menemukan bahagianya masing-masing tanpa harus melupakan Sadewa. Happy ending bukan? Untuk perbedaan versi wattpad dan buku, jujur aku lebih suka versi wattpad hehehe. Abang Riverku banyak part di versi wattpad, dan berkat versi wattpad ini juga aku sehalu itu sama River sampe-sampe dulu kalo bingung mau curhat ke siapa, aku nulis curhatanku dan bikin seolah olah aku ngobrol sama River. Sehalu itu memang. Tapi, jujur kalo buat masalah jalan cerita, penokohan, dan kesan ajaib dari cerita ini

Cinta Cenat Cenut

Dulu waktu awal-awal aku jadi smesbles drama mini seri ini muncul. Dan selalu membuat 'booming' para 'Performance' *sebutan kelasku* gimana gak? orang mayoritas warganya SMASHBLAST walaupun gak dikit juga yg antis. Tapi, selalu di bikin bahan candaan, bahan debatan, dll. Cinta cenat cenut atau di singkat CCC ini waktu awal mulainya selalu di tunggu-tunggu, banyak banget anak yg update status gak sabar pengen liat drama mini seri ini. Bahkan, yang awalnya antis setelah nonton ccc beralih menjadi SMASHBLAST! Keren gak sih? Keren banget doonng :D . Dan, banyak banget yg mengikuti SM*SH maen di drama mini seri atau kalo gak gitu FTV, seolah-olah julukan SM*SH sebagai 'pioner' itu bener-bener terasa banget. Sayang, ccc cuma 13 episode, waktu episode terakhir aku sempet nangis sihh, tapi cuma bentar, toh katanya ccc 2 bakalan ada. Berbulan-bulan aku nantiin, tapi selalu dalam tahap project! Sampai pada sekitaran November ccc2 resmi tanyang pada tanggal 3 Desember 2011