Langsung ke konten utama

Denganmu Maka Semua Sempurna

Berlari. Aku terus berlari hingga rasa sesak yang aku rasa ini menghilang. Sialnya, semakin aku berlari semakin rasa sesak itu menghampiri. Hal ini membuat kaki kebas dan terus berlari tanpa peduli arah. Aku bahkan asing dengan daerah ini, namun aku tak peduli. Rasa sesak ini memuakkan. Aku ingin segera menghilangkannya, sehingga aku dapat bernapas dengan lega kembali. Air mata pun terus menetes tanpa aku bisa cegah. Membuatku semakin sesak dengan semuanya.

Kakiku berhenti di pinggir taman yang sepertinya digunakan untuk pasar malam ketika sore mulai menyapa. Sayangnya saat ini masih siang hari, dan tenagaku harus terkuras habis karena permasalahan sepeleh seperti itu. Sekali lagi, air mataku mengalir dengan derasnya. Membuatku memaki diriku sendiri. Bodoh, harusnya aku sudah tahu bahwa kemungkinan seperti ini akan terjadi. Sepertinya kata bodoh telah menyelinap menjadi nama tengahku. Membuatku tak pernah berpikir jernih ketika menyangkut masalah hati.

Ponselku bergetar keras. Membuatku mengaturkan nafasku sejenak sebelum melihat siapa penelpon tersebut, ketika telpon ini berasal dari sahabatku, aku menimbang apakah akan menjawabnya atau membiarkannya berdering lalu akan berhenti dengan sendiri. Dan pilihanku berada di pilihan kedua. Membuatku mematikan ponselku lalu memasukkan kembali ke kantong celanaku.

Mendudukkan diriku di trotoar taman. Menatap kosong stand-stand yang masih belum ada isinya di depanku. Apa yang sebenarnya aku cari? Pun aku tak mengetahuinya. Aku rindu menulis. Menulis apa saja. Dan mendadak keahlian menulisku menghilang. Bersamaan dengan perginya dia dari hidupku. Jika saja dia pergi hanya sekedar pergi aku tak masalah. Yang menjadi masalah adalah dia pergi dan meninggalkan luka yang menganga parah. Dan itu membuatku tak baik-baik saja. Membuatku bahkan tak mengenali diriku lagi.

Jelas saja aku kehilangan keahlian menulisku. Selama tujuh tahun kemarin, dia yang selalu menjadi inspirasiku dalam menulis, dan setelah dia menghilang dari hidupku setahun yang lalu jelas saja bahwa detik di mana dia melangkahkan kaki keluar adalah detik di mana aku tak bisa menulis lagi. Inspirasiku menghilang. Tak ada lagi semangat dalam diriku. Detik itu juga, aku bukanlah aku.

Sebenarnya tanpa dia aku tetap dapat menulis, karena aku mengenal dunia menulis jauh sebelum aku mengenalnya, namun, aku sudah beberapa kali mencoba untuk menulis dan hasilnya gagal. Tak ada jiwa dalam ceritaku. Tak ada kesan. Datar. Dan tak membuatku bangga pada tulisanku sendiri, padahal dulu menulis adalah satu-satunya hal yang aku banggakan dari diriku yang tak pandai dalam bidang hitung-menghitung ini.

Hal yang membuatku berlari jauh dari kantorku adalah banyaknya orang yang mengatakan bahwa mereka rindu akan tulisanku sedangkan aku tak mampu mewujudkan impian mereka. Hal ini yang membuatku muak pada diriku sendiri. Meskipun pekerjaanku adalah mengelola cafe donat, namun hobiku adalah menulis, dan aku mem-posting karyaku di blog pribadiku. Awalnya aku hanya iseng dan hanya kugunakan sebagai penghilang penat saat dulu aku duduk di bangku SMA, namun ketika aku duduk di bangku perkuliahan, banyak pembaca yang menantikan tulisanku selanjutnya. Membuatku semakin semangat dalam menulis.

Dan semangatku makin bertambah ketika aku mengenalnya dan perasaanku terbalaskan. Membuat tokoh dalam setiap ceritaku adalah dia. Dia bahkan selalu memuji semua tulisanku. Dia adalah pembaca pertama dari setiap cerita yang akan taruh di blog. Dan setelah dia mengingkari janjinya padaku, setelah dia memilih berkhianat, hilang sudah semangatku dalam menulis. Inspirasiku dalam menulis sudah tak ada lagi. Dan pembaca pertamaku jelas sudah tak ada lagi.

Menarik napas panjang. Bahkan itu sudah setahun yang lalu. Seharusnya aku sudah merelakannya, toh dia sudah bahagia dengan pilihannya. Jika dia saja bisa hidup tanpa memikirkanku, seharusnya aku juga dapat melanjutkan hidup tanpa terpengaruh bayang-bayangnya lagi. Sebenarnya, aku sudah lama tak memikirkan masalah ini kembali. Hanya saja, saat aku kembali membuka blog pribadiku dan membaca komentar-komentar yang ada, aku kembali teringat alasanku tak dapat menulis. Dan ketika aku ingin menulis kembali, tanganku bergetar di atas keyboard laptopku, membuat kenangan yang telah terkubur kembali ke permukaan dan membuatku sesak. Membuatku berlari tak tentu arah, bahkan aku mengabaikan teriakan dari para pegawaiku.

Mungkin cukup. Aku hanya akan menulis nanti, saat aku telah siap kembali. Lebih baik aku kembali ke cafe sebelum semua orang akan panik mencari. Menghela napas dan berdiri. Saat aku berbalik arah, langkahku terpaku. Aku menyadari bahwa aku tak tahu daerah ini. Membuatku menghidupkan ponsel yang sempat kumatikan tadi. Dan benar saja, aku mendapatkan banyak pesan dan telepon dari Adam yang notabene adalah sahabatku dari aku duduk di sekolah dasar. Aku tertawa membaca berbagai sumpah serapah yang dia kirimkan padaku. Langsung saja tanganku bergegas memencet tombol panggilan. Satu-dua-tig-

“Lo bego atau gimana, hah?” Bahkan aku belum genap menghitung sampai tiga dan mendengar makiannya. Membuatku terkekeh pelan.

“Nggak usah ketawa! Bilang sama gue, lo di mana?”

“Nah, itu masalahnya, Ad. Gue nggak tau gue lagi di mana. Gimana dong?” jawabku sambil tertawa

“Emang bego udah jadi nama tengah lo ya! Nyalain GPS, gue susulin lo sekarang!” jawabnya yang langsung mengakhiri panggilan. Membuatku langsung menuruti perintahnya. Kebiasaanku yang tak pernah menghapal suatu daerah membuatnya mengaturkan GPS dari ponselku  dan membuatnya selalu dapat menemukanku dengan mudah.

Sembari aku menunggu, jariku men-scroll pesan yang kuterima darinya. Aku langsung paham bahwa pegawaiku kemungkinan menghubunginya, dan aku mengerti bahwa dia khawatir. Meskipun saat ini aku sudah akan menginjak umur dua puluh lima, namun dia selalu memerlakukanku seakan aku adalah bocah TK, namun bagaimana pun aku tak pernah protes padanya. Karena Adam yang selalu ada di sisiku ketika aku tak memercayai orang di sekitarku. Dia yang selalu ada bahkan ketika aku selalu mengalami hubungan yang buruk dalam pertemanan.

Adam tak marah ketika aku mengikuti akselerasi dua kali dan membuat kami lulus bangku SMA barengan. Bahkan dia selalu menjagaku ketika kami akhirnya memutuskan untuk kuliah di kampus yang sama. Walaupun kami mengambil jurusan yang berbeda, dia dengan jurusan arsiteknya dan aku mengambil jurusan manajemen. Adam bahkan akrab dengan si dia yang sedari tadi aku ceritakan. Dan aku sudah tahu pasti bahwa Adam tak akan tinggal dia melihatku menangis, terbukti dari adanya lebam sehari setelah aku bercerita padanya.

Terlihat Pajero putih menghampiriku. Bibirku tersenyum lebar. Langsung saja aku masuk dan duduk dengan nyaman di kursi penumpang. Menatap ke arahnya yang memandangku dengan pandangan khawatir. Aku menaikkan alisku dan menampilkan deretan gigiku. Berharap bahwa Adam tak menanyaiku macam-macam. Aku hanya belum siap untuk bercerita kepadanya.

“Lo hutang cerita sama gue, ngerti?” ujarnya yang lebih terdengar seperti perintah dibandingkan pertanyaan. Membuatku mengerucutkan bibirku. Sadar bahwa aku percuma untuk berbohong padanya. Percuma aku menyembunyikan kebohonganku karena aku tahu bahwa dia langsung paham ketika aku berbohong. Tipikal seorang Adam Baskara, memastikan bahwa semua baik-baik saja.

Adam tak langsung membawaku pulang. Dia membawaku mampir di restoran cepat saji. Mengerti bahwa aku belum mengisi perutku dengan makanan sama sekali. Dia turun dari mobil dan langsung memasuki restoran, membuatku mengekorinya dan aku mencari tempat duduk untuk kami. Tanpa aku katakan dia sudah terlampau hapal pesananku, yakni paket spesial dengan tambahan telur. Menatap punggungnya yang mulai memesan. Membuatku berpikir mengapa sampai saat ini dia betah-betah saja sendiri tanpa pasangan. Dengan pendapatan perbulannya yang luar biasa, aku sangsi ada gadis yang menolaknya, namun setiap kali aku bertanya jawabannya yang dia lontarkan adalah dia masih ingin menikmati hidup. Jawaban yang sangat tak masuk akal sama sekali.

Punggung itu berbalik. Dan terlihat dirinya melangkah ke arahku. Membuatku sekali lagi tersenyum melihat wajahnya yang masih menampilkan ekspresi tidak suka. Wajah yang selalu dia tampilkan ketika aku melakukan hal bodoh atau sesuatu yang membuat semua orang khawatir. Percayalah, mungkin benar kata Adam bahwa aku adalah anak kecil yang terjebak pada tubuh orang dewasa.

Adam menyodorkan makananku. Jika makan dengannya maka aku harus mengingat aturan untuk tetap tenang ketika makan. Dia akan marah ketika aku makan sambil berbincang, terlebih jika dia sedang dalam mood yang di bawah seperti ini. Aku tak berani untuk melanggar aturan itu. Kali ini aku melambatkan makanku. Entahlah, aku hanya tak berselera makan meskipun tenagaku sudah terkuras habis untuk berlari.

Mataku bersirobok dengan matanya. Membuat Adam menghentikan kegiatan makannya. Aku tahu bahwa dia sudah nggak tahan untuk menunggu hingga kami selesai makan. Karena aku tahu kalau dia paham aku tak mempunyai selera makan. Adam menghembuskan napas lelah. Dia masih menatapku dengan pandangan khawatir, membuat air mataku menetes kembali. Adam selalu sukses membuatku menjadi diriku sendiri. Dia selalu sukses dalam membuatku mengeluarkan semua yang aku pendam sendiri. Tangan Adam menepuk pundakku pelan.

“Lo mikirin apa lagi, sih?” pertanyaannya membuatku menggelengkan kepalaku. Aku tak tahu pasti apa yang membuatku berlari dan menangis seperti tadi. Antara aku merindukan menulis atau aku merindukan sosoknya yang bahkan sudah akan menikah beberapa hari lagi. Aku tak tahu mana yang besar rinduku di antara kedua itu.

Adam melihat sekitar. Banyak tatap mata yang menatap kami ingin tahu. Membuat Adam mendesis tak suka dan selanjutnya menarik tanganku untuk berdiri. Dia menuntunku untuk keluar dari restoran ini. Dia memang lebih suka suasana yang tenang dan tak ada gangguan apa pun. Kami akhirnya hanya berdiam di dalam mobil. Terlihat Adam mencengkram setirnya erat. Aku tahu bahwa berbagai macam emosi ada dalam hatinya saat ini. 

“Kita ngobrol di cafe gue aja” ucapku di sela-sela tangisku. Ucapanku membuatnya menyalakan mesin mobil dan menjalankannya menuju cafeku yang jaraknya tak seberapa jauh.

Aku selalu bersyukur mempunyai sahabat sepertinya. Aku tak pernah menyesali kedua orang tuaku yang dipindah tugaskan dari Surabaya ke Bandung dan bertetangga dengannya. Dulu, Adam adalah orang yang tertutup, namun ketika aku selalu memintanya untuk menemaniku, dia selalu bersedia. Kami selalu berangkat sekolah bersama-sama. Dengan dirinya yang selalu menungguku keluar kelas. Menemaniku ketika aku mendapatkan jadwal piket. Adam juga selalu melindungiku dari setiap lelaki yang hanya ingin mempermainkanku. Adam bahkan nggak segan untuk memakai kekuatan fisik.

“Sekarang lo cerita sama gue!” titahnya langsung ketika kami sudah sampai di cafe dan memasuki ruanganku.

“Gue Cuma kangen nulis” ujarku lirih

“Kangen nulis nggak mungkin bikin lo lari jauh banget dari cafe lo. Please, kalo lo mau ngasih alasan bego, jangan yang bego-bego banget kayak gitu” ucapnya sambil memutar bola matanya

“Gue kangen dia, Ad. Gue tau gue nggak berhak kangen orang yang mau nikah beberapa hari lagi. Tapi, gue nggak munafik kalo gue kangen dia, Ad. Gue nggak bisa nulis lagi, Ad. Gimana gue bisa nulis kalo inspirasi gue udah pergi dari hidup gue?” 

Adam menggertakkan gigi. Aku tahu bahwa Adam tak menyukai keadaan dimana aku selalu merindukan cowok itu. Adam menatap mataku tajam. Membuat air mataku semakin deras mengalir. Aku benci melihatnya menahan amarah dalam hatinya. Dulu, ketika dia sedang menahan amarah seperti ini, Adam selalu menyiksa dirinya sendiri. Dan itu membuatku tak suka karena aku melihat banyaknya luka dalam tubuhnya. Perlahan aku maju dan memeluk Adam. Menenangkan segala jenis emosi yang ada di dalam hatinya.

“Maura Anindya, bilang sama gue kalo gue butuh ngehajar cowok brengsek itu sekarang juga” ucapannya membuatku mengeratkan pelukanku dan menggelengkan kepala. Percayalah bahwa Adam selalu serius akan semua yang dia katakan. Dan melihatnya terluka adalah hal paling terakhir yang ingin aku lihat.

“Lo udah janji sama gue, Ad. Lo udah janji sama gue” ujarku lirih. Adam sudah berjanji padaku sejak terakhir kali dia menghajar cowok itu, bahwa dia tak akan menggunakan kekuatan fisiknya lagi untuk melampiaskan emosinya. Adam berjanji untuk menemuiku ketika dia sedang emosi. Dan setahun terakhir ini berhasil. Adam selalu pintar dalam mengendalikan emosinya.

“Gue tahu lo bego, Mau. Gue paham banget kalo otak lo emang nggak pernah kepake kalo dalam masalah kayak gini. Tapi, lo bisa anggep gue ada nggak? Please, lo jangan jadi cewek bego yang lari sejauh itu ketika lo bahkan nggak hafal daerah lo sendiri”

“Lo jangan lari Cuma karena cowok brengsek kek dia. Lo selalu tahu kalo lo punya gue buat dengerin lo curhat. Lo punya gue buat nemenin lo lari ke mana aja lo mau. Lo selalu tahu kalo gue bakalan ninggal kerjaan gue dan nemenin lo, Mau. Sekarang gue tanya sama lo, yang ngelanggar janji siapa? Lo atau gue?”

Ucapan Adam membuatku mematung. Aku paham bahwa Adam marah kepadaku. Dan hal yang paling aku tidak suka adalah ketika marah kepadaku dan mendiamku. Aku semakin menenggelamkan diriku dalam pelukannya. Tidak, Adam tidak boleh marah kepadaku. Tidak, aku takkan membiarkannya mendiamkanku. Aku semakin terisak dalam pelukannya. Hal yang membuat Adam marah adalah hal yang kubenci. Dan aku selalu membenci diriku ketika Adam marah kepadaku.

“Maaf. Maafin gue, Ad” isakku. Aku terlalu bodoh ketika merasa bahwa aku sendirian sedangkan kenyataannya aku memiliki seseorang yang selalu menemaniku dalam setiap keadaan. Aku terlalu bodoh ketika menangis sendiri padahal kenyataannya aku memiliki seseorang yang akan dengan suka rela memelukku, menenangkanku dari tangisku.

Adam membelai rambutku pelan. Menandakan bahwa amarahnya telah surut. Tapi senyumku pudar ketika dia melepaskan pelukanku. Dia mengangkat tubuhku menjauh dari tubuhnya. Membuat bibirku pias. Menggelengkan kepalaku. Menolak apapun yang akan dilakukan olehnya. Adam bangkit dari duduknya dan beranjak pergi menjauh. Bahkan tanganku dia tepis. Dia berjalan dengan langkah besar. Membuatku mengikutinya. Aku tahu bahwa aku terlambat ketika dia sudah melajukan mobilnya dengan kecepatan tidak biasa.


Adam benar-benar marah padaku. Selama nyaris seminggu ini dia mendiamkanku. Tak ada satupun pesanku yang dibalas olehnya. Aku bahkan menghubungi asisten pribadinya dan asistennya lebih mengatakan bahwa Adam sedang ada keperluan di Singapura selama seminggu. Dan hal ini benar-benar membuatku tak tenang sama sekali. Bukankah aku sudah bilang bahwa melihat Adam marah adalah hal terakhir yang ingin aku lihat, terlebih ini karenaku.

Memang aku terlalu bodoh, aku mengerti bahwa Adam memang tak pernah suka jika dia tak dianggap. Dan minggu kemarin aku baru saja melakukannya. Padahal sudah tak terhitung berapa kali Adam selalu berada di sisiku di segala keadaan. Dia juga selalu mencurahkan segala yang dia alami padaku. Aku tahu bahwa Adam benci akan perasaan itu, namun aku tetap melakukannya. Hal ini membuatku benci pada diriku sendiri. 

Adam adalah seseorang yang penting dalam hidupku. Bahkan, aku selalu mengatakan dalam diriku sendiri, tak apa jika ada seseorang yang meninggalkanku asal bukan Adam. Siapapun asal bukan Adam yang menunjukkan punggungnya menjauh dariku. Dan dengan bodohnya aku yang membuat punggung itu menjauh. Sesak ini hadir kembali. Aku membutuhkan pengalihan pikiran. 

Mengeluarkan ponselku dan mencoba untuk menelponnya lagi. Biasanya, dia tak pernah semarah ini padaku, dan semarah-marahnya dia, Adam selalu mengangkat telpon dariku. Jika kemarin dia mengabaikan telepon dariku, maka aku benar-benar mengharapkan bahwa dia mengangkat telepon dariku saat ini. Aku butuh dia detik ini. Nada dering berubah menjadi keheningan, aku langsung tahu bahwa Adam mengangkat telepon dariku.

“Ad..”

“Adam, gue butuh lo sekarang” isakku pun lolos dari bibirku. Demi apapun aku tak kuat menahan sesak yang berada di dalam hatiku. Aku merindukan Adam. Aku merindukan sahabatku.

“Adam, gue boleh lari kan?” tanyaku saat Adam masih saja tak menjawab ucapanku. Membuatku melangkahkan kakiku keluar cafe. Tangisku pecah saat Adam masih saja terdiam dan tak menyahuti ucapanku.

“Adam bego, gue minta ijin sama lo sekarang! Jawab bego!” racauku sambil terus berjalan pelan menuju taman beberapa blok dari cafeku. Adam masih saja tak menyahuti ucapanku. Membuatku semakin mengeraskan tangisanku. Aku sudah tak peduli dengan banyaknya pandang mata yang mengarah kepadaku. Aku butuh Adam saat ini.

“Adam, gue lagi nangis sekarang. Lo bilang gue Cuma boleh nangis di depan lo kan? Terus kenapa lo nggak ada sekarang?”

“Adam udahan dong marahnya. Lo tau kan kalo gue nggak maksud gitu. Gue pikir kalo gue butuh waktu bentar buat nenangin diri, Ad. Lo tau persis kalo rasa gue ke dia udah nggak ada. Gue nggak bohong sama lo, Ad”

“Lo di mana?” Adam mengela napas terlebih duli sebelum akhirnya berbicara. Membuat tangisku semakin keras karena perasaan lega. Sahabatku kembali. Adam sudah tak marah padaku lagi.

“Berhenti nangis dulu, Mau. Gue tanya lo di mana sekarang?”

“Gue ada di taman deket caf--“

Ucapanku terpotong dengan adanya pelukan dari belakang tubuhku. Aku hapal aroma tubuh ini. Aroma papermint yang sedikit keras. Aroma Adam. Reflek badanku memutar. Membuatku menatap matanya yang lelah. Dia menunduk karena aku sedang duduk di kursi taman. Langsung saja badanku menghambur ke pelukannya. Lagi, tangisku pecah. Percayalah, aku sebegitu merindukan dia. Rasa rinduku ini sampai menyesakkan. Dan ketika aku sadar bahwa aku berada dalam pelukannya, aku tahu bahwa aku baik-baik saja.

Tanpa melepas pelukanku, Adam bergerak untuk duduk di sebelahku. Begitu dia sudah ada di sebelahku, aku langsung mendekapnya erat. Menguburkan wajahku di dadanya. Mengumpulkan udara yang menghilang selama seminggu ini. Aku memang selalu merindukannya ketika dia ada tugas untuk bertemu klien di luar kota atau bahkan luar negeri, namun tak pernah sampai semenyesakkan ini karena biasanya dia selalu mengirimiku pesan. Merasakan sentuhan lembut Adam di rambutku. Membuat perasaanku perlahan tenang. Aku baik-baik saja saat ini.

“Jangan marah lagi, Ad. Jangan kek gitu lagi. Gue nggak bisa” ujarku lirih

“Lo yang pertama ngelanggar janji lo, Mau. Lo bilang kalo lo nggak bakalan lagi inget tuh cowok brengsek, tapi apa? Lo bohong, Mau” ucapannya yang terdengar halus justru membuatku semakin takut. Adam berbeda dengan orang lain yang akan meledak-ledak ketika marah. Adam justru akan berkata lembut namun mematikan lawan bicaranya.

“Maaf...”

“Gue beneran udah nggak ada rasa sama dia. Kemarin Cuma perasaan yang sekedar lewat. Gue pikir, kalo gue butuh waktu gue sendiri. Gue lupa kalo selama ini gue punya lo, Ad. Maafin gue”

Adam masih terus membelai rambutku pelan. Menghantarkan rasa nyaman ke dalam hatiku. Membuatku benar-benar sadar bahwa aku tak butuh yang lain untuk berada di sisiku sebesar aku membutuhkannya untuk selalu ada di sisiku. Dengannya maka aku merasa utuh. Dengannya aku tak akan takut dalam menghadapi apapun. Dengannya aku tak perlu mengkhawatirkan apapun. Itulah dia, Adam Baskara.

Adam melepaskan pelukanku. Dia menghapuskan sisa air mataku. Mataku menatap ke dalam mata teduhnya. Adam memiliki mata teduh yang menghanyutkan. Percayalah, mata itu bisa menjadi mata yang menyeramkan ketika marah, sekaligus menjadi mata teduh yang menenangkan hati, seperti saat ini. Dia tertawa pelan seraya mengacak rambutku.

“Kalo permasalahan lo adalah lo kangen nulis dan pengen nulis lagi, gue siap bantu lo, Mau. Gue bakal bawa lo ke manapun lo mau. Ke tempat-tempat favorit lo biar cepet dapet inspirasi. Gue bakal ngelakuin apa pun buat bikin lo nulis lagi, Mau”

Aku menatap Adam tak percaya. Adam adalah tipe orang yang akan selalu menepati apa yang dia ucapkan, sekaligus orang yang akan mendapatkan apa yang dia inginkan. Bagaimana mungkin kemarin aku kehilangan akal dan menganggap bahwa aku tak mempunyai tujuan lagi? Aku masih memiliki Adam di sisiku. Aku sudah menetapkan bahwa aku tak akan menjadikan masa laluku sebagai patokan inspirasiku, aku akan mencari inspirasi yang baru. Seperti kata Adam, aku akan mengikutinya berkeliling ke tempat-tempat yang aku suka untuk mendapatkan inspirasi. Menatap Adam yang masih membersihkan sisa air mataku. Membuatku menganggukkan kepala, aku setuju akan ide yang dia lontarkan barusan.

How can i fall in love with someone like you, Mau” ucapannya membuatku mematung. Adam apa? Aku mungkin salah dengar kan? Katakan bahwa aku salah mendengar ucapan Adam. Namun bukannya menjelaskan apapun yang dia katakan barusan, Adam justru mengeluarkan kotak kecil dari kantongnya. Dari tulisan yang tertera di atas kotak itu, aku tahu bahwa isi dari kotak itu merupakan hal yang mahal.

Adam membuka kotak tersebut. Terlihat kalung indah berbentuk tulisan love yang sangat indah. Aku masih mematung karena ucapannya hingga Adam memakaikan kalung itu di leherku. Membuatku menahan napas saat jarak kami berdekatan. Setelahnya, Adam menjauhkan diri dan menatap ke arah leherku yang kini berhiaskan kalung darinya. Dia tersenyum bangga.

Be mine, Mau?”

 ♡

Jika kemarin adalah Adam yang menghindariku, maka kali ini aku yang menghindarinya. Aku masih terlalu terkejut akan pernyataan cintanya yang tanpa persiapan itu. Aku masih membutuhkan waktu untuk mencerna apa yang dilakukan Adam. Aku tahu bahwa aku bersikap kekanakan saat ini, tapi aku juga membutuhkan ruang untuk berpikir apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana bisa Adam memiliki perasaan kepadaku. Dan itu semua membutuhkan ruang dan waktu yang cukup untuk memikirkannya kembali.

Kemarin, setelah pernyataan cintanya itu, aku langsung pergi meninggalkannya. Mengabaikannya yang terus memanggil namaku. Sebut aku bodoh karena sebelumnya aku begitu merindukannya, namun setelahnya aku memilih untuk meninggalkannya. Dan seolah mengerti, Adam tak mengejarku sama sekali. Dia membiarkanku untuk mengambil waktu sejenak.

Menghela napas panjang. Saat ini aku sedang berada di anak cabang cafeku, yang jaraknya lumayan jauh dari cafe utama maupun dari kantor Adam. Hal ini memudahkanku untuk berpikir, meskipun pada nyatanya aku tetap tak memikirkan titik temu yang pas sama sekali. Seolah semua ini adalah suatu kesalahan, meskipun kita tak pernah bisa tahu bagaimana hati kita dapat mengatur perasaan kita.

Aku merasa ini salah karena aku tak ingin ada yang berbeda antara aku dan Adam. Aku ingin tetap bahagia bersama Adam tanpa harus ada pertengkaran sepasang kekasih. Aku masih ingin bersama Adam dalam waktu yang tak terhingga. Aku hanya ingin di sisinya sebagaimana biasanya saja. Berhubungan dengan label persahabatan seperti ini bagiku sudah lebih dari cukup. Aku nggak mungkin meminta lebih lagi. Aku tak mau merusak tatanan persahabatan kami dengan perasaan yang tak memiliki definisi secara khusus itu. Aku dan Adam saling menyayangi, itu sudah cukup bukan?

Kopi yang dibuatkan barista cafeku telah dingin. Menandakan bahwa sedari tadi aku hanya berdiam diri tanpa melakukan apa pun. Dan aku sudah tak ada keinginan untuk meminumnya kembali. Menyentuh kalung yang Adam berikan kemarin. Aku tak habis pikir bagaimana dia bisa seboros itu untuk membeli kalung yang harganya sangat mahal ini. Kalungnya cantik, munafik kalo aku bilang bahwa aku tidak suka. Hanya saja kejadian kemarin membuat keindahan kalung ini bahkan kalah dengan pertanyaan yang Adam lontarkan.

Pintuku dibuka kasar. Membuat pandanganku menatap ke arah orang yang membuka pintu tersebut, sebelum aku memaki pembuka pintu itu, bibirku lebih dulu kelu. Mataku terpaku menatap pada wajah milik orang yang saat ini melangkah dengan pandangan marah. Menatap wajahnya seperti ini, mengapa aku baru sadar kalau Adam tampan? Mengapa selama nyaris separuh hidupku ini aku baru mengetahui bahwa wajah dia tak bisa dikategorikan wajah yang biasa?

“Kenapa kamu kabur ke sini?” Kamu? Batinku. Aku tak pernah membayangkan dia berbicara dengan halus seperti ini. Aku sudah terbiasa mendengar Adam berbicara dengan kasar dan tanpa dipikir terlebih dahulu. Jujur, aku suka mendengarnya berbicara dengan halus, namun tidak setelah apa yang dia lakukan kemarin.

“Kalo kamu nggak mau terima aku, gapapa. Tapi, jangan kamu nggak anggep aku ada kayak gini. Aku udah cukup sabar biarin kamu pergi kemarin, karena aku pikir kamu butuh waktu. Tapi apa yang aku dapetin waktu aku ke cafe kamu? Kamu pergi! Kamu beneran nggak mau ketemu aku lagi, hah?”

Mendengarnya yang berbicara seperti itu membuatku tersenyum. Adam selalu saja panik ketika aku pergi tanpa pamit seperti itu. Dulu bahkan dia sampai nekat masuk ke dalam kelasku hanya karena aku nggak sempat membalas pesannya. Seharusnya aku sadar bahwa sudah dari dulu Adam menyimpan rasa itu. Memikirkannya sekarang membuatku merasa bersalah. Bagaimana perasaan dia saat aku mempunyai kekasih kemarin? Bagaimana dia bisa tetap bertahan untuk di sisiku? Jika aku yang diposisi dia, jelas aku tak mungkin sanggup menghadapinya. 

Air mataku merebak. Membuat tanganku menyentuh wajahnya. Aku tahu berat pasti rasanya menjadi dirinya kemarin. Mata Adam mengunci mataku, namun pandanganku memburam karena air mata. Ketika air mata itu menumpuk terlalu banyak dan berakhir dengan tangisan, Adam mulai tak nyaman dan beranjak memelukku.

Aku merasa sangat bersalah karena membiarkannya menyimpan luka itu sendiri. Selama aku berteman dengannya, dia nggak pernah bercerita kepadaku tentang gadis yang mendekatinya. Dia hanya sekedar dekat tanpa menjalin suatu hubungan khusus, padahal aku tahu bahwa penggemar dia banyak. Terlalu banyak yang ingin menjadi pasangan dari seorang Adam Baskara.

“Kalo kamu nggak mau, gapapa. Kita tetep jadi temen kok. Jangan nangis, Mau” lirihnya. Aku hanya sanggup menggelengkan kepalaku. Bukan, bukan itu yang aku tangiskan.

“Terus kalo bukan apa?” aku masih saja menangis tanpa menjawab pertaannya

“Kamu mau aku pergi?” Gelengan kepalaku semakin keras. Nggak, aku nggak mau kalau dia pergi dari sisiku. Nggak akan sanggup aku hidup kalau nggak ada dia.

“Kamu mau aku cari cewek lain?” Aku terdiam sebelum menggelengkan kepalaku. Jujur, aku selama ini belum pernah membagi Adam dengan yang lain. Selama nyaris dua puluh tahun aku beteman dengannya, tak pernah sedikitpun Adam meninggalkanku karena alasan lain. Jadi, ketika dia tanya barusan, jelas aku menolak. Aku tak sanggup membayangkan aku bukan jadi prioritas utama seorang Adam Baskara.

“Terus apa? Kalo kamu nggak ngomong, aku nggak akan tahu, Mau” ujarnya sambil membelai rambutku pelan. 

“Aku maunya kita tetep bareng kek gini aja, Ad. Bisa nggak sih kita tetep barengan aja tanpa harus kita pacaran? Aku nggak mau kalo kita putus nanti kita bakalan jadi musuh” jawabku dalam pelukannya

“Nggak bisa, Mau. Umur kita bukan umurnya bocah yang baru-baru pacaran. Siapa juga yang mau pacaran terus putus? Aku nggak akan biarin kita putus. Kita kan memang takdirnya kudu barengan terus” ujarnya lembut

“Terus maksud kamu?” tanyaku yang masih tetap bertahan dalam pelukannya.

“Nikah yuk?” ucapannya yang seringan bulu membuatku memukulnya dengan kencang. Bagaimana mungkin dia ngajak nikah kayak orang ngajak pergi ke mall?

“Kamu tuh kalo bercanda nggak lucu tahu” ujarku masih memukulnya bertubi-tubi. Dipukul seperti ini tak lantas membuatnya merasa kesakitan atau apa, dia malah tertawa dengan kencang. Membuatku semakin banyak melancarkan pukulanku. Adam berhenti tertawa dan memegang tanganku. Menghentikan kegiatanku yang masih ingin memukulnya. Lalu, satu tangannya menghapus sisa air mataku.

“Aku nggak pernah seserius ini dalam hidup, Mau. Kamu yang tahu persis aku gimana. Kamu yang bisa pahamin aku di segala kondisiku. Dan selama aku hidup, nggak ada yang bisa paling ngertiin aku selain kamu dan orang tuaku, Mau.”

“Kalo kamu pikir aku semudah itu ngungkapin semua ke kamu, kamu salah. Aku butuh mikir seribu kali untuk ngeyakinin diri aku sendiri kalo kamu adalah orang yang tepat. Aku mikir seribu kali untuk bikin aku yakin buat ngungkapin semua yang aku rasain selama ini ke kamu, Mau”

“Aku nggak mau janjiin segala hal yang nyatanya aku belum tentu bisa tepatin. Itu alasan kenapa aku milih ngungkapin sekarang dibanding beberapa tahun yang lalu. Aku maunya, ketika kamu bareng sama aku, kita berdua nggak serba kekurangan. Aku tahu kalo penghasilanku nggak sebesar penghasilan orang tuamu, tapi penghasilanku sekarang sudah lebih dari cukup untuk menuhin segala kebutuhan kamu maupun keinginan kamu. Aku juga cukup yakin untuk kita akan sama-sama saling ngerti, karena gimana pun juga nggak ada yang bisa ngertiin kamu sehebat aku ngertiin kamu.”

“Aku nggak butuh kamu bales perasaanku sekarang, Mau. Semua bisa kita rasain bareng-bareng nantinya. Cukup dengan kamu tahu bahwa aku mencintaimu. Urusan kamu mencintaiku, nanti aku akan usaha dan kamu pasti tahu bahwa aku akan mendapat apa yang aku inginkan, kan? Aku pasti mampu bikin kamu cinta sama aku. Untuk saat ini, kamu Cuma butuh percaya sama aku dan biarkan aku berjuang. Tapi, gimana pun juga aku tetep butuh kamu buat genggam tangan aku. Prinsipku adalah denganmu atau tidak sama sekali”

So, Maura Anindya, will you be my wifey?”

Pernyataan cinta yang panjang dari Adam membuatku tak mampu mengucap satu kata pun. Aku tahu bahwa semua yang dia ucapkan adalah kejujuran. Air mataku tak berhenti mengalir mendengarnya menyatakan cinta sambil berlutut di depanku, membuat tingginya menjadi setara dengan tinggiku. Adam menatapku dalam. Menunggu jawaban dariku. Tanpa perlu pikir panjang lagi, aku memeluknya. Menganggukkan kepalaku di sela lehernya. Bibirku terlalu kaku untuk mengucap kata namun hatiku yakin bahwa bersama Adam, aku akan aman.

Seperti yang aku katakan, hanya dengan bersama Adam aku merasa bahwa aku tak butuh hal yang lainnya. Bersama Adam, aku selalu merasa bahwa aku baik-baik saja, bahkan aku tak pernah merasa sangat baik-baik saja melebihi saat aku bersama Adam. Aku tak mau memikirkan bagaimana nanti ke depan hubungan kami. Aku percaya bahwa Adam tak akan membuatku terluka. Aku hanya perlu untuk mengikutinya saja, maka semua akan cukup. Aku hanya perlu menggenggam tangannya saja maka semua akan sempurna. Meskipun aku belum tahu definisi cinta dari diriku itu apa, namun bahagia bersama Adam di segala kondisi mungkin bisa jadi definisi cinta menurutku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta Cenat Cenut

Dulu waktu awal-awal aku jadi smesbles drama mini seri ini muncul. Dan selalu membuat 'booming' para 'Performance' *sebutan kelasku* gimana gak? orang mayoritas warganya SMASHBLAST walaupun gak dikit juga yg antis. Tapi, selalu di bikin bahan candaan, bahan debatan, dll. Cinta cenat cenut atau di singkat CCC ini waktu awal mulainya selalu di tunggu-tunggu, banyak banget anak yg update status gak sabar pengen liat drama mini seri ini. Bahkan, yang awalnya antis setelah nonton ccc beralih menjadi SMASHBLAST! Keren gak sih? Keren banget doonng :D . Dan, banyak banget yg mengikuti SM*SH maen di drama mini seri atau kalo gak gitu FTV, seolah-olah julukan SM*SH sebagai 'pioner' itu bener-bener terasa banget. Sayang, ccc cuma 13 episode, waktu episode terakhir aku sempet nangis sihh, tapi cuma bentar, toh katanya ccc 2 bakalan ada. Berbulan-bulan aku nantiin, tapi selalu dalam tahap project! Sampai pada sekitaran November ccc2 resmi tanyang pada tanggal 3 Desember 2011

Review : Tujuh Hari untuk Keshia

Tujuh Hari untuk Keshia. Adalah novel kesekian karya seorang Inggrid Sonya yang aku baca bahkan sejak cerita itu masih di Wattpad. Cerita yang mungkin bagi sebagian orang sad ending, namun bagiku cerita ini termasuk dalam kategori happy ending dan ending yang masuk akal. Kenapa gitu? Yaaa, karena pada endingnya, setiap tokoh dapat mengikhlaskan dengan tulus, dapat kembali lagi menjalani aktifitasnya. Dan masih tetap mencintai sosok Sadewa tanpa harus terpuruk lebih jauh lagi. Setiap tokoh sudah menemukan bahagianya masing-masing tanpa harus melupakan Sadewa. Happy ending bukan? Untuk perbedaan versi wattpad dan buku, jujur aku lebih suka versi wattpad hehehe. Abang Riverku banyak part di versi wattpad, dan berkat versi wattpad ini juga aku sehalu itu sama River sampe-sampe dulu kalo bingung mau curhat ke siapa, aku nulis curhatanku dan bikin seolah olah aku ngobrol sama River. Sehalu itu memang. Tapi, jujur kalo buat masalah jalan cerita, penokohan, dan kesan ajaib dari cerita ini

Aku Masih Menulis...

Aku masih menulis, Menulis tentang masa-masa yang telah aku tinggal jauh di belakang, Masih berangan tentang mawar yang aku usahakan untukmu, Masih berangan tentang binar matamu yang aku pikir hanya untukku kala itu, Masih berangan tentang bercerita di depan api unggun yang kamu nyalakan musim dingin itu. Aku masih menulis, Menulis tentang sinar pancaran matamu saat kamu bercerita, Menulis tentang indah garis lengkung bibirmu saat kamu tersenyum, Menulis tentang merdu suara tawamu saat kamu tertawa. Aku masih menulis, Menulis tentang kemungkinan-kemungkinan dunia paralel yang kamu ceritakan itu benar adanya, Menulis tentang kemungkinan di dunia paralel itu kita sedang mewujudkan impian-impian kita, Menulis tentang kemungkinan di dunia paralel itu kita saling bergerak tanpa ada rasa takut. Aku masih menulis, Menguatkan ingatanku yang mulai memburam tentang apa-apa tentangmu, Menguatkan bayangmu yang perlahan mulai menghilang, Menguatkan kisah-kisah yang kita pernah bakar h