Hujan kembali menjatuhkan rintiknya ke bumi. Menatap sendu kearah hujan yang
berbondong-bondong jatuh dengan kerasnya. Bukan. Bukan artinya aku tak
mensyukuri segala nikmat yang diberikanNya. Hanya saja, hujan membuatku ingat
memori kelam yang baru saja terbentuk beberapa jam yang lalu. Beberapa jam yang
lalu di saat aku dan dia terlibat pertengkaran hebat. Beberapa jam yang lalu di
saat dia sudah lelah dan meneriakkan kata berpisah. Aku termenung. Memikirkan
segala yang telah aku dan dia lewati selama ini. Apa ini salahku? Apa aku yang
terlalu takut kehilangannya ini salah untuk merasakan cemburu? Apa aku tak
berhak untuk memiliki rasa itu di hatiku?
Langit
seperti mengerti akan keadaanku. Sehingga dia menurunkan hujannya untuk
menemani air mataku yang mendadak turun perlahan seiring semakin derasnya hujan
yang mengguyur kota siang ini. Saat ini aku sedang berada di sebuah café
favoritku. Ralat, ini adalah café favorit aku dan dia. Café tempat di mana aku
selalu membagi semua cerita hidupku kepadanya. Café yang dia gunakan sebagai
sarana untuk mengerjakan tugas kuliah yang tiap hari terus bertambah. Katakan
aku bodoh ketika hubungan kami telah berakhir aku malah mengunjungi tempat di
mana semua kenangan indah pernah terpatri dalam hidupku. Namun, ini adalah
salah satu caraku untuk melangkah. Setelah keluar dari tempat ini, aku berjanji
aku akan menjalani hidupku dengan lebih ringan. Jadi, untuk sementara biarkan aku mengeluarkan
semua kesedihanku di tempat ini.
Kuseduh
lagi kopi hitam hangat favoritnya. Dulu, aku selalu mencelanya yang menyukai
kopi pahit tanpa rasa manis ini, namun saat ini aku mengerti mengapa dia bisa
menyukai kopi ini. Kopi ini nikmat. Seolah mampu mengusir rasa sesak yang
bersarang di dalam dada. Hangatnya mampu menguarkan beban-beban yang
menghimpit.
Hujan
masih senang mengguyur kota yang padat akan kendaraan ini. Membuatku memutuskan
untuk berjalan dan menikmati hujan. Sesudah aku membayar kopi hitam itu, aku
melangkah keluar dan mengabaikan mobilku yang masih terparkir dengan baik di
pelataran café. Aku berjalan ke arah barat. Mengandalkan sikap nekat yang entah
sejak kapan hinggap dalam diriku. Berjalan dan terus berjalan. Jangan tanyakan
kepadaku kemana arah tujuanku saat ini. Karena aku juga tak mengetahuinya. Yang
aku tau, aku senang ketika rintik hujan jatuh mengenai kulitku. Aku senang
ketika hujan mampu menyamarkan air mata yang terus saja jatuh sama derasnya
dengan hujan yang semakin lama semakin banyak menjatuhkan rintiknya.
Mataku
terpaku pada taman bermain umum yang indah. Sembari terpaku memandangnya,
membuatku berpikir juga, sudah sejauh apa aku melangkah? Membuatku menoleh ke
belakang. Café yang di pinggir jalanan besar sudah tak terlihat, yang terlihat
jalanan di suatu perumahan yang lumayan elit. Aku melangkahkan kakiku untuk
duduk di bangku panjang taman itu. Mengatur nafasku yang terasa memburu. Hujan
masih mengguyur. Anehnya, aku tak merasakan kedinginan. Tubuhku seolah kebas
akan rasa dingin itu. Apa sakit hati imbasnya sehebat ini? Aku tertawa
mendengar pertanyaan retorik dalam otakku. Tertawa karena ini bukanlah pertama
kalinya aku merasakan sakit hati. Ini bukan pertama kalinya aku jatuh cinta dan
harus merasakan sakit karena adanya perpisahan. Namun, luka ini aku yakini
adalah luka yang paling terasa sakitnya. Luka ini aku yakini adalah luka yang
paling susah sembuhnya. Membutuhkan banyak waktu untuk memulihkannya kembali.
Tiba-tiba
saja aku tak merasakan rintik hujan mengenai kulitku. Aku yakin seratus persen
bahwa aku masih melihat rintik hujan jatuh mengenai tanah rumput di depanku.
Aku terus berpikir bagaimana bisa aku tak merasakan rintik hujan di kulitku?
Apa sakit hati juga membuat otak bekerja semakin melambat?
“Hujan
tak semudah itu menyembuhkan luka yang terbentuk”
“Hujan
malah membuatnya semakin basah dan lo akan ngerasain sakit yang luar biasa”
Suara
bariton itu akhirnya membuatku menoleh dan mendapati seorang cowok memayungiku
dengan payung hitamnya. Terlihat bajunya telah basah akibat rintik hujan yang satu
per satu jatuh di tubuhnya. Aku menatap mata cowok itu. Terlihat matanya yang
tajam berwarna hitam gelap. Jenis mata dapat mengintimidasi dengan mudah. Jenis
mata yang mampu membuat orang ketakutan ketika menyelami ke dalam matanya.
Anehnya, aku merasakan ketenangan ketika menatap mata itu. Menundukkan
pandanganku ke tanah rumput di bawahku. Dia adalah orang asing. Dan tak
seharusnya aku berbincang dengan orang asing.
“Pergi!”
ujarku pelan. Bukannya menuruti apa kataku, dia malah dengan seenak dirinya
duduk di sampingku. Memberikan tatapan tajamku padanya, namun sialnya dia
sedang menatap lurus ke depan. Dengan tangannya yang tetap membawa payung untuk
memayungiku.
“Kalo
lo pikir gue orang asing yang seenak jidatnya ngurusin urusan lo, lo salah.
Gue—well, bisa dibilang bukan orang asing. Seandainya lo lebih peka sama
lingkungan di sekitar lo” Ucapannya membuatku mengerutkan dahi dan menatap
bingung ke arahnya. Memangnya, aku dan dia saling kenal.
“Angkasa.
Mahasiswa di Universitas yang sama kayak lo, dengan kelas yang sama juga”
ujarnya lalu menolehkan kepalanya dan menatapku dengan tatapan intimidasinya.
“See?
Lo bahkan asing sama nama gue kan?”
“Jangan
salahkan cowok lo yang pergi ninggalin lo kayak tadi. Lo terlalu egois dengan
urusan lo sendiri”
Ucapannya
menohokku. Teringat kembali pertengkaranku dengan mantanku beberapa jam yang
lalu. Egois? Tiba-tiba aku merasakan kembali pipiku basah kembali. Bisakah
orang asing yang bernama Angkasa ini menyaring kembali kalimat yang hendak
diucapkannya? Siapa dia? Apa hak dia untuk memberikan komentar tentangku?
Mengenalnya saja tidak. Bahkan, aku baru saja mengetahui namanya beberapa menit
yang lalu.
“Sorry.
Gue terlalu ikut campur. Lo mungkin mengucapkan seribu makian tentang gue kan?
Tapi, coba lo pikir lagi. Hidup lo nggak hanya memusat ke dia. Dia yang bahkan
nggak akan pernah pantes lo tangisin sambil hujan-hujanan kayak gini. Time to move on! Hidup lo nggak berhenti
Cuma karena cowok model dia. Coba untuk lebih melihat ke sekeliling lo. Dan lo
bakalan sadar kalo lo nggak sendirian. Banyak yang peduli ke lo” ujarnya panjang
lebar.
Bibirku
tak mampu mengucapkan seribu sumpah serapah yang tersimpan di dalam kepalaku.
Air mata ini malah mengalir dengan derasnya saat mendengar ucapannya barusan.
Bodoh! Seharusnya aku tidak menangis di depannya. Dia hanya orang asing.
Sialnya, semakin aku ingin berhenti untuk menangis, semakin derasnya air mata
ini mengalir.
“Hujan
memang membuat lo semakin ngerasain sakit yang luar biasa. Tapi, hujan juga
mampu mengalirkan darah yang keluar dari luka lo, sampe darah itu hilang”
Tangannya memegang tanganku dan dia menyerahkan payungnya dalam genggamanku.
“Tapi,
di bawah guyuran hujan selama lebih dari satu jam bisa bikin lo kena flu”
ujarnya lalu beranjak pergi
Tangisku
pecah sejak kulihat dia sudah melangkah menjauh. Aku berteriak sekeras mungkin.
Aku berteriak kepada langit yang beranjak sore. Aku berteriak seraya
mengeluarkan semua yang ingin kukatakan kepadanya yang dengan mudahnya
melupakan janjinya begitu saja. Aku berteriak memaki langit. Seolah langit yang
kukambinghitamkan dalam masalah ini. Aku berteriak seolah semua ini salah
langit yang mendukungku untuk menangis. Padahal aku tau, bahwa ini bukan salah
langit sedikitpun. Langit menatapku tersenyum, dia tetap menungguku berhenti
memaki dia yang entah berada di mana saat ini.
Entah
sudah berapa lama aku hanya menangis dan berteriak hingga aku menyadari bahwa
langit tak lagi menurunkan hujannya. Perlahan, tangisanku reda dengan
sendirinya. Aku sudah berhenti berteriak mengeluarkan makianku pada langit.
Menatap langit yang perlahan terang, sekali lagi aku berterima kasih karena
langit mendukung keadaanku kembali.
♥
Hari
ini adalah hari yang baru bagiku. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa
selepas aku keluar dari café itu, aku akan menjalani hariku dengan ringan
seolah tak ada yang pernah terjadi. Aku sudah bertekad bahwa aku akan menjadi
pribadi yang baru. Dan aku sudah berjanji untuk lebih peka dan memperhatikan
sekitarku seperti apa kata Angkasa. Entahlah, mengapa omongan asing sepertinya
mampu mempengaruhiku dalam berubah.
“Anthea!”
sapa seseorang. Aku hanya mampu membalasnya dengan senyuman. Karena jujur, aku
tak mengenalnya. Ah, betapa jahatnya aku yang tak mengenali seseorang yang
bahkan mengetahui namaku.
Kulanjutkan
langkahku untuk masuk ke dalam ruangan kelas Pengantar Mikro. Pelajaran yang
menurutku cukup susah. Bahkan aku selalu memintanya untuk mengajariku cara
memahami grafik dari pelajaran tersebut. Ah, lagi-lagi aku mengingat
tentangnya.
Baru
kali ini aku benar-benar melihat keadaan kelasku. Banyak sekali mahasiswa yang
berkumpul untuk membicarakan tentang tugas minggu kemarin. Tentu saja aku telah
selesai mengerjakannya. Beberapa hari yang lalu, dia membantuku untuk
mengerjakannya. Menghembuskan nafas lelah. Otakku seolah tak pernah mau diajak
bekerja sama untuk melupakan tentangnya. Masih
awal batinku. Mengedarkan pandanganku kembali. Terlihat orang asing yang
menyebutkan namanya dengan sebutan Angkasa tengah asyik bermain game di
ponselnya dan mendengarkan lagu menggunakan earphone.
Entah
setan dari mana yang membuat langkahku mengarah kearahnya. Langsung saja aku
menaruh tasku di sampingnya dan memasang earphoneku. Memejamkan mataku untuk
mencuri tidur selama beberapa menit sebelum pelajaran di mulai. Mataku semalam
sangat sulit untuk diajak terpejam. Membuatku mengalami kurang tidur dan
membuat kantung mataku sedikit menghitam. Membuatku harus sedikit menebalkan
riasan wajahku di bagian kantung mata. Jika mendengar riasan dan bayangan
kalian tentang riasan yang seperti ibu-ibu pejabat, maka hapuskan imajinasi
kalian. Aku hanya sekedar menebalkan bedak di bagian kantung mataku.
Mengalunlah
alunan lagu milik Taylor Swift yang berjudul If This Was a Movie. Lagu ini
seperti menyindir keadaanku saat ini. Membuka mataku dan hendak mengganti lagu,
saat tangan yang kuat itu menahanku. Membuatku menatap tangannya yang seperti
menggenggam tanganku. Anehnya, terasa pas. Langsung saja aku menepis tangannya
untuk menghindari perasaan aneh ini.
“Biarkan
lagu jadi media lo buat nyampein perasaan lo”
“Nggak
usah sok nasehatin gue!”
Mengabaikan
ucapanku, dia mengambil salah satu sisi earphone milikku dan ditempelkan di
telinganya. Sehingga, saat ini aku sedang berbagi musik dengannya. Aku
menatapnya tajam. Dan dia hanya menatapku sekilas lalu melanjutkan permain COC
yang sedang populer saat ini. Menghembuskan nafas jengah. Aku kembali
memejamkan mataku.
“Mulailah
untuk berteman” ujarnya “Hidup lo nggak hanya soal si Vano” lanjutnya
Dalam
hati aku mengiyakan apa katanya. Mungkin dengan memulai dari situ, aku dapat
perlahan terlepas dari bayangan Vano. Dan aku baru menyadari bahwa hanya
sedikit dari teman sekelasku yang aku kenal. Mungkin tak sampai separuh dari
kelas. Membuatku merasa bahwa aku adalah orang terkejam yang pernah ada.
Sepanjang
hari ini, aku selalu diseret kesana kemari oleh Angkasa. Dia mengenalkanku pada
teman-temannya. Dia membawaku ke kantin dan sekali lagi aku seperti dibawa ke
dunia yang baru bagiku. Angkasa tipe orang yang ramah. Temannya banyak sekali.
Terbukti dari sepanjang koridor kampus banyak sekali yang memanggil namanya. Dan
yang membuatku lebih salut lagi adalah dia juga memanggil orang yang
memanggilnya duluan. Berbeda dengan diriku yang tak mengetahui nama orang yang
memanggil namaku.
Perlahan,
aku mulai menerima kehadirannya. Kehadirannya yang awalnya kuanggap asing dan
terlalu mencampuri kehidupanku. Tapi lihat saat ini? Aku sedang berbincang
ringan dengannya. Mendengarkan segala penjelasannya tentang beberapa pelajaran
yang tak ku pahami. Walaupun hanya sedikit, namun setidaknya dia mampu
membuatku tak memikirkan Vano. Namun, tetap ada yang janggal sejak aku mulai
dekat dengannya hari ini. Semua mata seakan menatapku tak suka. Apa ada yang
salah dari aku menjadi temannya mulai hari ini?
“Abaikan
mereka. Lo tau sendiri gue punya banyak penggemar” ujarnya seolah bisa membaca
pikiranku
“Excuse me, lo?”
“Bukan
mau banggain diri atau gimana, tapi itu kenyataannya. Mereka Cuma iri karena
nggak punya kesempatan seperti yang lo punya”
Dia
menatapku dengan senyuman lebar yang terbentuk di bibirnya. Aku menatapnya tak
percaya. Setidakpeka itukah diriku kemarin hingga tak pernah menyadari bahwa
dia salah satu mahasiswa populer dimana banyak sekali cewek yang rela melakukan
apa saja hanya untuk berbincang dengannya? Dan aku? Aku hanya perlu menangis di
tengah derasnya hujan dan aku mampu menjadi dekat dengannya. Menggelengkan
kepalaku tak percaya. Terdengar suara tawa yang nyaring, membuatku menoleh
kearahnya. Jenis tawa yang indah. Membuatku menarik dua sisi mulutku untuk
tersenyum.
♥
Sudah
lebih dari sebulan aku menjadi teman seorang Rajendra Angkasa. Dia yang
setidaknya mampu membuatku nggak seberapa meratapi hidupku yang terasa sangat
berbeda dengan tanpa Vano di sisiku. Dia selalu membawaku kemanapun dia akan
pergi di kampus. Bahkan, dia akan menemaniku via media sosial yang kupunya. Biar lo nggak kepikiran terus sama dia
itu adalah alasannya ketika aku bertanya mengapa dia menemaniku di media
sosial.
Saat
ini, aku sedang berjalan dengannya di koridor kampus. Kami hendak mengerjakan
tugas Akuntansi di gazebo perpustakaan. Kami memilih tempat itu karena entah
kenapa anginnya terasa menyejukkan di sana, dengan banyaknya pohon rimbun yang
membuat suasana menjadi sangat sejuk dan nyaman. Tempat yang cocok untuk
mengerjakan tugas. Setidaknya mampu membuat otak tak bekerja terlalu keras
hanya demi mengerjakan sebuah tugas.
Langkahku
terhenti. Nafasku terasa terhambat di tenggorokan. Aliran darahku terasa berhenti
mengalir. Membuat kerja jantungku seolah terhenti sejenak. Aku merasakan nyeri
di dada sebelah kiriku. Bukan. Bukan jantungku yang sakit. Perasaanku yang
sakit. Di depanku saat ini aku melihat Vano dengan mesranya berpelukan dengan
gadis lain. Dengan gadis yang membuatku memiliki perasaan cemburu. Gadis yang
kata dia hanya sekedar teman untuk mengerjakan tugas. Haruskah teman
mengerjakan tugas berpelukan mesra seperti saat ini? Vano mengecup kening gadis
ini. Membuatku tak percaya. Kecupannya yang biasanya hanya tertuju untukku kini
harus di miliki oleh gadis lain. Aku tak rela! Terasa tubuhku goyah. Aku tak
sanggup lagi berdiri. Aku tak sanggup menopang rasa sesak yang ada di dalam
dadaku lagi.
Terasa
tangan seseorang menopang kedua pundakku. Melihat ke samping dan aku menemukan
mata Angkasa yang menatapku khawatir. Aku tak sanggup berkata. Aku ingin
berteriak bawa aku lari dari neraka ini, namun yang keluar hanyalah air mataku
yang tanpa seijinku keluar dari singgasananya. Angkasa hanya menatapku diam. Membuat
air mataku semakin mengalir dengan deras. Aku ingin beranjak dari sini. Aku tak
sanggup melihat adegan romantis ini.
“Tolong,
bawa gue lari” ujarku lirih, sangat lirih. Aku bahkan tak yakin Angkasa dapat
mendengarkanku atau tidak. Karena, aku juga belum yakin apakah aku
mengucapkannya atau hanya berbicara dalam hatiku saja.
Angkasa
menggenggam tanganku erat dan menarik tanganku berlawanan dengan arah yang
hendak kami tuju. Dia menarik tanganku dengan setengah menyeretku membawaku
entah kemana. Aku tak peduli dengan langkahnya yang lebar sehingga membuatku
kesusahan untuk mengikuti langkahnya. Aku tak mempedulikan tentang itu semua.
Saat ini yang ada di kepalaku adalah bagaimana mungkin Vano setega itu
melakukan semua ini kepadaku? Teman? Orang asing juga mampu membedakan mana
pelukan teman dan sepasang kekasih. Lalu, apa artinya semua kenangan yang kita
tulis selama beberapa tahun ini? Apa selama ini aku tak pernah menyentuh
hatinya?
Angkasa
mendudukkanku di sebuah bangku panjang. Menatap sekitarku. Angkasa membawaku ke
taman belakang gedung kuliah kami. Aku hanya mampu termenung. Kejadian beberapa
menit yang lalu terus saja terputar di otakku. Berputar dan berputar. Seperti sebuah
dvd yang rusak. Lagi, aku merasakan pipiku basah. Dadaku terasa seperti
disayat. Seperti ada banyak pisau yang merusaknya. Sakit. Teramat sakit.
“Tiga
tahun…” ucapku “Tiga tahun hubungan kami berjalan. Dan sekarang…” aku butuh
tempat cerita. Aku butuh tempat untuk meluapkan segala kesakitan ini.
“Well,
ini bukan pertama kalinya kami putus. Dalam rentang waktu itu, gue dan dia udah
sering putus, cari pacar baru lalu kembali bersama lagi. Tapi, gue nggak pernah
merasa terkhianati kayak gini. Alasan dia mutusin gue karena gue tipe orang
yang pencemburu..”
“Salahkah
kalo gue cemburu? Bukannya cemburu itu tanda sayang? Dia juga teramat paham
kalo gue tipe orang yang cemburuan. Dia paham akan hal itu. Dan dia selalu tertawa
lalu meluk gue kalo gue dulu cemburu. Tapi kemarin? Dia rela bentak gue dan
bilang kata pisah Cuma karena gue cemburu ke cewek itu? Apa waktu gue bareng
dia itu segampang itu terlupakan dengan cewek itu?”
Aku
merasa Angkasa menatapku. Aku tau dia mendengarkan dengan baik semua keluh
kesah yang bersarang di hatiku. Aku merasakan bebanku sedikit berkurang dengan
membaginya pada Angkasa. Terasa tangan merengkuhku. Aku terkejut saat Angkasa
memelukku dengan erat. Aku ingin melepaskan pelukannya, namun aku tak mempunyai
daya untuk melepaskannya. Nyaman. Itu adalah yang aku rasakan ketika Angkasa membawaku
dalam pelukannya. Aroma parfumnya mampu menenangkanku. Dadanya yang bidang
mampu menyalurkan rasa aman dan nyaman, dan sialnya air mataku kembali menetes.
Membuat Angkasa semakin mengeratkan pelukannya. Aku menangis dengan hebat dalam
dekapannya. Tangan Angkasa membelai lembut rambutku. Bukannya semakin reda,
tangisanku semakin menjadi.
“Lo
nggak perlu takut buat nangis. Keluarin semua rasa sakit lo. Bagi rasa sakit lo
ke gue” ujarnya
♥
Hubunganku
dengan Angkasa semakin dekat. Kami sudah saling membagikan kisah hidup kami.
Termasuk kisah tentang dia yang memendam perasaan kepada seorang gadis yang
kata dia sulit untuk dia jangkau. Dibanding harus berlari mengejarnya, Angkasa
memilih untuk mencoba mensejajarkan langkahnya di samping gadis itu, untuk
berjalan bersama gadisnya. Angkasa menolak memberitauku siapa nama gadis itu,
dia akan mengatakannya ketika waktunya sudah pas.
Perlahan,
aku mampu menghapuskan nama Vano di dalam hatiku. Ucapkan terima kasih kepada Angkasa
yang selalu berada di sampingku setiap saat. Ucapkan terima kasih kepada
Angkasa yang selalu saja membuatku tertawa sepanjang waktu. Dan ucapkan terima
kasih kepada Angkasa yang selalu memelukku ketika aku membutuhkan tempat untuk
menangis. Jenis pelukan Angkasa adalah pelukan yang membuat nyaman. Salah satu
tempat favoritku saat ini.
“The,
coba deh lo minum ini. Ini lebih manis dibandingin kopi hitam yang ada di depan
lo sekarang” ujarnya seraya menyodorkan secangkir red velvet hangatnya di
depanku. Tanpa menunggu jawabanku, dia sudah menukar kopi hitamku dengan red
velvet miliknya. Tipikal Angkasa sekali. Membuatku memutar mataku malas, namun
tak urung aku juga menyesapnya.
“Lagian,
baru ini gue liat cewek demennya kopi hitam” celanya
“Lo
nggak rasain sensasinya sih” jawabku
“Mulai
saat ini, lo minumnya red velvet kalo di café ini. Karena café ini bukan café
favorit lo sama Vano. Ini café lo sama gue” Dan sekali lagi Angkasa membuatku
memutar mataku malas.
Setelah
makan siang ini, kami berangkat ke kampus untuk memasuki kelas berikutnya. Kami
berjalan dan tertawa di sepanjang koridor kampus, membuat banyak mata menatap
kami aneh. Kami tak memperdulikannya, kami akan mengabaikan semua tatap mata
yang memandang dan menganggap itu bukanlah masalah yang besar. Jadi, kami tak
perlu mengambil pusing semua itu.
“Gue
titip tas gue bentar. Tunggu di sini, gue mau ke kamar mandi bentar” ujarnya
seraya menyerahkan tasnya kepadaku.
Sembari
menunggunya aku memainkan ponselku. Aku membuka galeri ponselku dan melihat
foto-fotoku dengan Angkasa di café tadi. Menatap lama ke arah muka Angkasa,
entah mengapa membuat bibirku melengkungkan senyuman. Aku suka tatap mata tajam
mengintimidasi yang anehnya selalu membuatku tenang itu. Aku suka bibir merahnya
yang melengkungkan senyuman miring andalannya. Aku suka alis tebal yang di
milikinya. Aku suka dada bidang tempatku bersandar ketik menangis itu. Aku suka
tangan hangatnya yang entah mengapa terasa pas di tanganku.
Menggelengkan
kepalaku. Mengusir pemikiran aneh yang sekilas melintas tadi. Aku tak ingin
hubunganku dengan Angkasa harus berakhir seperti hubunganku dan Vano. Seseorang
memegang bahuku. Membuatku menoleh. Dan jantungku seolah berhenti berdetak
ketika aku melihat Vano yang memegang kedua bahuku. Matanya terlihat lelah. Dan
aku tak melihat semangat menyentuh matanya. Seperti bukan Vano yang kukenal
beberapa bulan yang lalu. Memang benar, rasaku pada Vano telah berakhir sejak
dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini, tapi bukan berarti bahwa aku juga
tak mengenalinya.
“Bisa
kita bicara?” tanyanya
“Lo
mau ngomong apa?”
“Nggak
di sini, An”
“Kalo
nggak di sini, gue nggak bisa. Sorry, gue lagi nungguin temen gue”
Tiba-tiba
saja Vano memelukku. Aku terlalu terkejut untuk menolak pelukannya. Pelukannya
bukanlah lagi tipe pelukan nyaman seperti dulu. Aku lebih suka pelukan Angkasa
dibandingkan dengan pelukan Vano saat ini.
“Sorry…”
lirihnya “Sorry karena gue terlalu bego buat ninggalin lo. Sorry karena gue
sekarang nyesel ngelakuin ini semua ke lo. Sorry karena faktanya sampe saat ini
gue masih cinta sama lo”
Tubuhku
membeku. Vano masih cinta? Apa semudah itu dia pikir dia bisa mempermainkanku.
Setelah tanpa kabar selama beberapa bulan, dan sekarang dia dengan entengnya
berkata bahwa dia masih mencintaiku? Jangan tanyakan berapa ribu sumpah serapah
dan makian yang ada di kepalaku saat ini. Aku ingin menumpahkan semuanya
kepadanya saat ini, namun sebaliknya. Aku balas memeluknya, aku menepuk pelan
punggungnya.
“Gue
udah maafin lo. Bahkan jauh sebelum lo minta maaf kayak sekarang. Gue udah
maafin semua kesalahan lo yang ninggalin gue Cuma demi cewek baru dalam hidup
lo…” aku terdiam sebentar. Masih menenangkannya yang terlihat gusar. Bukannya
aku sudah bilang bahwa aku masih mengenalnya dengan baik? Aku tau saat ini dia
sedang gusar, dan untuk menghilangkannya aku selalu memeluknya dan menepuk
punggungnya seperti ini dulu. Terasa detak jantungnya yang sudah mendekati
normal.
“Tapi
maaf, kalo gue nggak bisa balik ke lo lagi. Bukannya gue udah bilang, kalo kali
ini lo mutusin gue, maka kita akan bener-bener putus? Gue emang masih sayang
sama lo. Tapi, sorry gue nggak bisa balik sama lo” kataku dan melepaskan
pelukannya.
“Gue
tau, gue salah. Gue terlalu bodoh kemarin”
“Lain
kali, jangan pernah sia-siain orang yang sayang sama lo”
♥
Selepas
dari kamar mandi tadi, Angkasa jadi jauh lebih diam. Dia hanya menjawab
seperlunya ketika ditanya. Bahkan semua ceritaku hanya dijawab dengan gumaman,
kata ya, dan kata oh. Walaupun matanya tetap menatap ke dalam mataku, aku
merasakan ada yang aneh dengan matanya. Mata itu seolah redup. Mata itu seolah
kehilangan cahayanya yang selalu menerangi setiap waktu. Membuat tatapannya
jauh lebih tajam dari biasanya.
Seminggu
sudah Angkasa mendiamkanku seperti ini. Setiap kali kutanya kenapa dia hanya
menjawab tak ada masalah. Dia memang masih menemaniku kemana saja, hanya saja
jauh lebih dingin. Seolah dia memberikan sebuah jarak diantara kami. Dan kaku
membenci keadaan ini. Aku membenci ketika dia hanya meresponku dengan singkat.
Aku benci ketika dia tak lagi banyak tersenyum seperti seminggu ini. Aku benci
semua itu, dan aku ingin berbicara berdua dengannya hari ini. Aku ingin Angkasa
kembali seperti Angkasa yang dulu. Angkasa yang hangat, bukan Angkasa yang
dingin seperti ini.
Selesai
kelas, aku menarik tangannya untuk mengikutiku. Aku tak bisa hanya seperti ini
dengannya. Aku nggak betah dengan keadaan kami yang seperti ada jarak seperti
ini. Untungnya Angkasa hanya menurut ketika aku menarik tangannya. Tak ada
perlawanan darinya. Membawanya ke taman belakang gedung kuliah kami.
“Lo
kenapa?”
“Kenapa
apanya sih, The?” tanyanya
“Gue
ada salahkah ke lo?”
“Nggak
ada, The” ujarnya tersenyum, namun aku tau senyum itu tak mencapai matanya
“Gue
tau lo tau gue nggak sebodoh itu buat percaya senyum palsu yang lo bikin”
Angkasa
tersenyum lagi. Dia hanya terdiam dan menatap ke dalam bola mataku lama.
Tatapan intimidasinya entah mengapa berubah menjadi tatapan sendu. Membuatku ingin
berteriak bahwa aku rindu tatapan intimidasi khas miliknya. Karena dari tatapan
mata itulah aku merasakan sebuah kenyamanan yang baru. Dari tatapan matanya itulah
aku merasakan bahwa diriku aman.
“Enam
bulan, The. Enam bulan…” Aku menatapnya bingung, ada apa dengan enam bulan?
“Selama
enam bulan ini gue selalu berusaha buat nyembuhin lukanya. Selama enam bulan
ini gue mencoba untuk mengukir nama gue di hatinya. Tapi apa? Dia masih
memendam rasa untuk orang yang menghancurkan hatinya. Dia masih memiliki ruang
untuk orang yang bahkan sudah menyia-nyiakan hatinya. Gue harus apa? Gue kudu tetep
berharap ke dia? Gue harus menata ulang kembali hatinya dan ngebiarin orang
lain merusak tatanan hati itu lagi?”
“Mereka
bilang, kalo kita berada di titik terendah seseorang, maka orang itu nggak akan
pernah bisa melepaskan kita. Namun, saat ini gue mempertanyakan pendapat itu. Gue
udah cukup lama untuk memendam perasaan ini ke dia, dan gue baru punya
keberanian untuk mendekatinya ketika dia jatuh dan berada pada titik
terendahnya, tapi apa? Dia masih nggak bisa ngeliat ke arah gue”
Angkasa
yang di sakiti, namun aku ikut merasakan sakitnya. Siapa cewek bodoh yang menyia-nyiakan
orang sebaik Angkasa? Ingin rasanya aku mendatangi cewek itu dan berteriak
keras di depannya bahwa seharusnya dia sadar bahwa ada orang yang dengan rela
menata kembali kepingan hatinya namun tak dia hiraukan itu. Aku ingin agar
cewek itu mengerti tentang perasaan tulus seorang Angkasa.
Melangkahkan
kakiku dan menghapus antara jarakku dan jaraknya. Memeluk Angkasa dengan erat. Aku
ingin Angkasa tau bahwa dia masih memilikiku yang siap untuk mendengar semua
kisahnya. Aku ingin Angkasa memahami bahwa tanpa ada cewek itu, aku masih bisa
membuat Angkasa bahagia. Ada yang aneh saat ini ketika aku memeluk Angkasa. Ini
adalah pertama kalinya Angkasa tak balas memelukku.
Saat
aku hendak melepaskan pelukanku, Angkasa membalas pelukanku. Dia memelukku
dengan erat, membawaku ke dada bidangnya yang membuatku nyaman. Dan benar. Aku
merasa nyaman saat ini. Aku merasakan paru-paruku penuh dengan oksigen saat
ini, karena jujur ketika Angkasa mengabaikanku, aku merasa kesulitan untuk
bernafas ketika dia ada di sisiku namun terasa sangat jauh dan tak terjangkau.
“Haruskah
gue teriak di telinga lo kalo cewek yang gue maksud itu lo?”
“Iyaa,
kalo perlu ntar gu—“ Tunggu! Sepertinya aku tadi mendengar sesuatu yang
janggal. Maksudnya cewek yang dia ceritakan selama ini…aku?
“Gu—gue?”
tanyaku seraya melepaskan pelukannya dan menatap langsung ke dalam bola
matanya. Mata itu terlihat jujur. Terlampau jujur malah. Membuatku terdiam dan
tak mampu berkata apa-apa.
“Iya,
lo. Anthea Anastasia” jawabnya
Aku
memaku sejenak. Aku tak percaya bahwa ini semua adalah nyata. Mungkin saja ini
semu, atau mungkin saja saat ini aku sedang bermimpi dan ketika aku terbangun
nanti aku akan menemukan diriku berada di dalam kamarku. Ya, mungkin seperti
itu. Lamunanku menghilang saat aku merasakan tangannya memegang kedua pundakku.
Memaksaku untuk menatap ke dalam mata hitam legamnya. Memaksaku untuk menyelami
lautan matanya yang indah itu.
“Gue
cinta sama lo. Dari pertama kali mata itu bertatapan dengan mata gue. Dari pertama
kali lo nyebutin nama lengkap lo di depan kelas dengan percaya diri. Bahkan dari
pertama kali gue liat lo asik berduaan sama mantan lo”
“Tapi
gue…”
“Gue
nggak ngarepin lo bakal bales perasaan gue, The. Gue Cuma mau lo tau aja
tentang perasaan gue. Dan gue mohon, jangan balik ke Vano. Udah itu aja”
“Gue
nggak mau balikan sama Vano, Angkasa. Gimana gue mau balik sama dia kalo saat
ini di pikiran gue udah dimonopoli sama nama lo?” jawabku sebelum Angkasa
kembali memotong ucapanku
Angkasa
mematung di depanku. Aku tau dia terkejut. Aku juga sama terkejutnya dengan
dia. Aku nggak ngerti darimana keluarnya kalimat itu, yang jelas setelah aku
menyelami lautan matanya yang hitam legam itu, aku menyadari beberapa hal.
Salah satunya adalah aku yang tak pernah membahas nama Vano di depannya, dan
aku yang sudah tak pernah lagi memikirkannya sesering ketika pertama kali aku
dan Vano berpisah, bahkan dalam beberapa bulan ini aku tak pernah menghadirkan
bayangannya di pikiranku. Pikiranku seolah dimonopoli oleh Angkasa yang selalu
berada di sekelilingku. Aku yang nyaman ketika Angkasa memelukku. Aku yang
senang ketika mendengar tawanya yang indah. Aku yang akan ikut tersenyum ketika
bibirnya melengkungkan senyum.
Angkasa
lalu memelukku. Aku tau dia paham arti pandanganku ini. Aku tau dia pasti
mengerti maksud ucapanku tanpa harus aku menjelaskan lebih panjang apa
maksudnya. Hatiku mungkin memang belum sepenuhnya sembuh dari luka masa lalu,
namun tak ada salahnya untuk mencoba kembali bersentuhan dengan rasa itu, toh
Angkasalah yang membantuku untuk menata kembali hatiku yang telah porak poranda
ini. Biarkan aku menikmati perasaan ini sekali lagi. Biarkan aku bersentuhan
dengan rasa yang sempat membuatku berada di titik terendahku. Sebuah rasa yang
bernamakan cinta.
Komentar
Posting Komentar